MAKKIYAH-MADANIYAH DALAM AL-QUR’AN
M.Taufikurohman
Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Abstraksi
Pembahasan
makki dan madani dalam ulum al-Qur’an merupakan sebuah hal yang penting.
Urgensi makki dan madani dapat dilihat dari kitab-kitab tafsir serta
kitab-kitab yang didalamnya membahas ilmu-ilmu al-Qur’an, didalamnya hampir
semua mufassir mencantumkan pembahasan tentang makki dan madani. Meski pembahasan
tentang tema ini tidak sedetail atau sekomplek ilmu-ilmu al-Qur’an yang lain,
akan tetapi ia merupakan salah satu hal yang mewajibkan para mufassir untuk
mengetahuinya. Ini karena dengan mengetahui mana yang makki dan mana yang
madani, seseorang akan mendapatkan gambaran awal tentang nasikh-mansukh. Oleh
karena itu, pengetahuan tentang hal ini merupakan starting point bagi mufassir
untuk menuju pembahasan nasikh-mansukh. Inilah alasan pentingnya pembahasan
makki dan madani.
Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan wahyu yang turun secara berangsur-angsur selama
22 tahun 2 bulan 22 hari. Diantara fungsi turunnya al-Qur’an secara
berangsur-berangsur adalah menyesuaikannya dengan kondisi yang sedang dihadapi
Rasulullah saw.. Secara historis kehidupan Rasulullah lebih banyak berdomisili
di mekkah dan madinah, meskipun pada event tertentu beliau mengadakan
perjalanan ke wilayah lain. Sebagian ayat al-Qur’an itu diturunkan di mekkah
dan di Madinah, sehingga muncullah istilah surat atau ayat-ayat madaniyyah. Hal
yang menjadi daya tarik dalam persoalan makki dan madani adalah tidak adanya
keterangan langsung dari Rasulullah tentang ketentuan-ketentuan surat makki dan
madani, akan tetapi informasi mengenai hal ini didapat melalui hafalan para
sahabat dan tabi’in. [1]Bahkan
tidak jarang ulama hanya bersandarkan pada ijtihadi dalam pengklasifikasiannya.
Namun, tidak berarti bahwa persoalan itu semuanya ijtihadi. Cukup menjadi
pegangan dari riwayat sahabat yang melihat langsung cara penurunan wahyu.
Di sisi lain, para orientalis juga melontarkan kritikannya terkait
dengan persoalan makki dan madani. Mereka menganggap bahwa adanya
pengklsaifikasian surat menjadi makki dan madani merupakan indikasi bahwa
al-Qur’an telah terpengaruh oleh lingkungan dan budaya, yang pada akhirnya mereka
menuduh bahwa al-Qur’an bukan lagi wahyu ilahi. Tulisan ini akan berbicara
mengenai konsep makkiyah dan madaniyah yang menggunakan pendekatan
deskriptif-analitik.
Pengertian Makki-Madani
Ulama’ ahli tafsir berbeda pendapat dalam mendefinisikan ayat atau
surat makkiyah-madaniyyah. Dari perbedaan pendapat ini, muncullah beberapa definisi
yang didalamnya memuat konsep yang berbeda antara teori satu dengan teori yang
lainnya.
Kata Makki dan Madani merupakan bagian dari terma yang ada dalam
kajian al-Qur'an, yang dimaksudkan untuk memberikan nama jenis surat/ayat dalam
al-Qur'an. Keduanya lahir dari dua nama kota besar yang ada di Jazirah Arab,
yaitu Makah dan Madinah. Selanjutnya dinisbahkan dengan isim sifat, yang
ditandai dengan alamat ya’ nisbah, maka jadilah kata Makki dan Madani.
Secara ringkas, surat Makiyah didefinisikan sebagai wahyu yang
turun kepada Muhammad sebelum hijrah, meskipun surat itu tidak turun di Makah. Sedangkan
Madaniyah ialah surat/ayat yang turun kepada rasulullah setelah hijrah, walaupun
surat atau ayat itu turun di Makah. Seperti yang turun pada saat fathu Makkah
(penaklukan kota Makah), waktu haji
wada' (perpisahan) atau dalam perjalanannya.
Selanjutnya, Az-Zarkasyi dalam al-Burhan memberikan
klasifikasi tentang pengertian makkiyah dan madaniyah. Klasifikasi teori
tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Dari
segi waktu turunnya. Makki adalah yang diturunkan sebelum hijrah meskipun bukan
di Makah. Adapun Madani adalah yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun
bukan di Madinah. Yang diturunkan
sesudah hijrah sekalipun di Makah atau Arafah adalah Madani, seperti yang
diturunkan pada tahun penaklukan kota
Makah.
2.
Dari
segi tempat turunnya. Makkiialah yang turun di Makah dan sekitarnya, seperti
Mina, Arafah, dan Hudaibiyah. Dan Madani ialah yang turun di Madinah dan
sekitarnya, seperti Uhud, Quba, dan Sil. Pendapat ini mengakibatkan tidak
adanya pembagian secara kongkret yang mendua, sebab yang turun dalam
perjalanan, di Tabuk atau di Baitul Makdis, tidak termasuk ke dalam salah satu
bagiannya, sehingga ia tidak dinamakan Makkidan tidak juga Madani. Juga
mengakibatkan bahwa yang diturunkan di Makah sesudah hijrah disebut Makki.
3.
Dari
segi sasarannya (i’tibar al-mukhatab). Makki adalah yang seruannya ditujukan
kepada penduduk Makah dan Madani adalah yang seruannya ditujukan kepada
penduduk Madinah. Berdasarkan pendapat ini, para pendukungnya menyatakan bahwa
ayat al-Quran yang mengandung seruan ya ayyuha an-nas (wahai manusia) adalah
Makki, sedang ayat yang mengandung seruan ya ayyuha al-lazhina amanu (wahai
orang-orang yang beriman) adalah Madani.[2]
Tolak Ukur Makki-Madani
Definisi-definisi di atas jika berdiri sendiri, maka tidak bisa
menjadi sebagai tolak ukur universal karena misalnya, dalam surah Madaniah
seperti al-Baqarah juga terdapat kata-kata “Wahai manusia...” Sehingga ketiga
tolak ukur di atas harus digabungkan dengan ditambah lagi dengan dua metode
lainnya sebagaimana yang dikatakan oleh al-ja’fari yang dikutip oleh
Az-Zarkasyi dalam kitab al-burhan fii ulum al-Qur’an yaitu cara sama`i
dan Qiyasi.[3]
Cara pertama didasarkan pada riwayat sahih dari para sahabat yang
hidup pada saat dan menyaksikan turunnya wahyu, atau dari para tabi’in yang
menerima dan mendengar dari para sahabat bagaimana, di mana, dan peristiwa apa
yang berkaitan dengan turunnya wahyu itu.Sebagian besar penentuan Makki dan
Madani itu didasarkan pada cara pertama ini. Contoh-contoh di atas merupakan
bukti paling baik baginya. Penjelasan tentang penentuan tersebut telah memenuhi
kitabkitab tafsir bi al-ma'tsur, kitab-kitab asbab an-nuzul dan
pembahasan pembahasan mengenai ilmu-ilmu al-Quran. Namun demikian, tentang hal
tersebut tidak terdapat sedikit pun keterangan dari Rasulullah, karena ia tidak
termasuk suatu kewajiban, kecuali dalam batas yang dapat membedakan mana yang
nasikhdan mana yang mansukh.[4]
Sedangkan cara qiyas ijtihadi adalah cara yang bersandar
pada ijtihad bukan pada riwayat. Cara ini hanya melihat sifat sebuah ayat.
Apabila dalam surah Makkiah ada sebuah ayat yang sifatnya Madani maka ayat itu
Madani, dan apabila dalam surah Madinah terdapat ayat yang sifatnya Makkiah
maka ia ayat Makkiah.
Kriteria-kriteria di atas hanyalah ciri-ciri umum, belum final.
Mengabsolutkan satu kriteria Makki-Madani menurut Nasr Hamid Abu Zaid akan
menyusahkan kita, meski secara pribadi dia mendukung pendapat mayoritas tentang
Makki-Madani; yaitu ditinjau dari segi waktu hijrah, ayat yang turun sebelum
Hijrah maka ia Makki,dan Madani adalah yang turun setelahnya, baik turun di
Makkah ataupun di Madinah, pada tahun penaklukan (Makkah) atau haji wada,atau
dalam perjalan. Karenanya, kriteria klasifikasi seharusnya didasarkan pada
realitas, pada satu sisi, dan pada teks pada sisi lain. Karena teks bergerak
bersama realitas yang pada akhirnya mempengaruhi isi dan strukturnya. Hal ini
sesuai dengan realitas dalam al-Qur‘an bahwa ayat Makki struktur ayatnya
pendek-pendek dan dengan penuh i‘jaz dan balaghat tinggi, karena pada saat itu
ia berkomunikasi dengan orang Makki yaang secara watak terkenal keras kepala,
dan mahir dalam balaghat. Ayat yang pendek dengan penuh i‘jaz karena karena sebagai
tahaddi pada penyair-penyair orang Musyrik sehingga ayat-ayat Makki juga
biasanya dimulai dengan huruf muqata‘ah.
Masih menurut Nasr Hamid, pada fase indzar yaitu Makki, ayat
al-Qur‘an benar-benar memakai metode dakwah yang melihat objek yang didakwahi.
Kebanyakan ayat Makki menggunakan kata-kata persuasif,sedangkan pada Fase
Risalah atau Madani ayat al-Qur‘an cenderung panjang-panjang karena memang
objek dakwahnya berbeda dan lebihpada transformasi informasi dan lebih banyak
terkait dengan hukumIslam syariah islamiah daripada persoalan akidah.[5]
Hal yang perlu diketahui yaitu bahwasannya penentuan ayat atau
surat Makki dan Madani tersebut tetap bersandar pada sebuah prinsip yang sudah
pasti dilatar belakangi ‘illat yang
argumentatif. Diantara dasar-dasar penentuan Makiyah dan Madaniyah adalah;
1.
Dasar
aghlabiyah (mayoritas)
Yang dimaksudkan dengan dasar mayoritas adalah kalau sesuatu surat
itu mayoritas atau kebanyakan ayat-ayatnya adalah Makiyah, maka disebut sebagai
surat Makiyah. Sebaliknya, jika yang terbanyak ayatayatnya adalah Madaniyah,
atau diturunkan setelah nabi hijrah ke Madinah, maka surat tersebut dinamakan
Madaniyah.
2.
Dasar
tabi’iyyah (kontinuitas)
Yang dimaksudkan dengan dasar kontinuitas yaitu kalau permulaan
sesuatu surat itu didahului dengan ayat yang turun di Makah atau turun sebelum
hijrah, maka surat tersebut dinamakan Makiyah. Begitu pula sebaliknya jika
ayat-ayat pertama dari suaru surat itu diturunkan di Madinah atau yang berisi
hukum-hukum syari’at, maka surat tersebut dinamakan sebagai surat Madaniyah.
Dasar tabi’iyah di atas untuk menetapkan surat dalam al-Qur'an
termasuk Makki atau Madani ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan Ibnu
Abbas r.a;
Artinya; “Kalau awal surat itu diturunkan di Makah, maka dicatat
sebagai surat Makiyah, lalu Allah menambahkan dalam surat itu ayat-ayat yang
dikehendaki-Nya”.
Teori Makki-Madani
Al-Qatthan dalam kitab Mabahis dengan mengutip pendapat Abul
Qasim al-Hasan bin Muhammad bin Habib an-Naisabuuri mengatakan bahwasannya “diantara
ilmu-ilmu yang paling mulia adalah ilmu tentang nuzulul qur‘an dan daerahnya,
urutan turunnya di Mekkah dan di Madinah, tentang yang diturunkan di Mekkah
tetapi hukumnya madani dan sebaliknya, dan tentang yang diturunkan di Juhfah,
di Baitul Makdis, Taif, atau Hudaibiyah, di waktu siang, diturunkan secara
bersama-sama, atauditurunkan secara sendiri-sendiri, ayat-ayat madaniah dari
surah-surah al-Makkiah, ayat-ayat Makkiah dalam surah Madaniah; yang dibawa
dari Mekkah ke Madinah dan yang dibawa dari Madinah ke Mekkah;yang dibawa dari
Madinah ke Abesinia, yang diturunkan secara global dan yang telah dijelaskan,
serta yang diperselisihkan sehingga sebagian orang mengatakan Madani dan
sebagian mengatakan Makki. Itu semua ada duapuluh lima macam. Orang yang tidak
mengetahuinya dan tak dapat membeda-bedakannya, ia tidak berhak berbicara tentang
Qur‘an.”[6]
Statement di atas menunjukkan pentingnya mengetahui ayat Makki dan
Madani sebagai salah satu alat yang membantu dalam memahami maksud ayat
tertentu. Tidak mengherankan kemudian jika pembahasan tersebut menjadi
pembahasan yang didahulukan daripada pembahasan ilmu-ilmu al-Qur’an yang lain.
Dengan demikian, AnNaisaburi di atas secara tegas mengatakan bahwa seseorang
tidak berhak berbicara al-Qur‘an kecuali telah mengetahui persoalan Makki-Madani.
Kemudian Manna Al-Kattan merinci poin per poin pembahasan tersebut sebagai
berikut: 1) ayat yang turun di Mekkah 2) yang turun di Madinah; 3) yang
diperselisihkan; 4) ayat-ayat Makkiah dalam surah Madaniah; 5) ayat Madaniah
dalam surah Makkiah; 6) yang diturunkan di Mekkah sedang hukumnya di Madinah;
7) yang diturunkan di Madinah sedang hukumnya di Mekkah; 8) yang serupa dengan
yang diturunkan di Mekkah (makki) dalam kelompok madani; 9) yang serupa
diturunkan di Madinah (madani) dengan kelompok Makki; 10) yang dibawa dari
Mekkah ke Madinah; 11) yang dibawa dari Madinah ke Mekkah; 12) yang turun waktu
malam dan siang; 13) yang turun musim panas dan dingin; 14) yang turun waktu
menetap dan dalam perjalanan.[7]
Selanjutnya, dalam Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an Manna’ Al-Qatthan
juga memberikan klasifikasi makki dan madani secara lebih rinci sebagai
berikut;
1.
Ayat
yang diturunkan di Makah sedang hukumya Madani. Mereka memberi contoh dengan
firman Allah
13. Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa
- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ayat
ini diturunkan di Makah pada hari penaklukan kota Makah, tetapi sebenarnya Madaniyah, karena diturunkan sesudah hijrah,
di samping itu seruannya pun bersifat umum. Ayat seperti ini oleh para ulama
tidak dinamakan Makki dan tidak pula dinamakan Madani secara pasti. Tetapi,
mereka katakan; "Ayat yang diturukan di Mekah sedangkan hukumnya Madani”.
2.
Ayat
yang diturunkan di Madinah sedang hukumnya Makki. Mereka memberi contoh dengan
surah al-Mumtahanah. Surah ini diturunkan di Madinah dilihat darisegi tempat
turunnya, tetapi seruannya ditujukan kepada orang musyrik penduduk Makah. Juga
seperti permulaan surah al-Bara’ah yang diturunkan di Madinah, tetapi seruannya
ditujukan kepada orang-orang musyrik penduduk Makah.
3.
Ayat
yang serupa dengan yang diturunkan di Makah (Makki) dalam Madani. Yang dimaksud
para ulama ialah ayat-ayat yang dalam surat Madaniyah, tetapi mempunyai gaya
bahasa dan ciri-ciri umum surah Makiyah. Contohnya, firman Allah dalam surah
al-Anfal yang Madaniyah, yang artinya; "Dan ingatlah ketika
mereka–golongan musyrik—berkata; "Ya Allah, jika benar (al-Quran) ini dari
Engkau, hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada musim
panas dan dingin; (14) yang turun pada waktu menetap dan dalam perjalanan.kami
azab yang pedih." (al-Anfal: 32). Ini mengingat permintaan kaum musyrikin
untuk disegerakan azab itu adalah di Makah.
4.
Yang
serupa dengan yang diturunkan di Madinah (Madani) dalam Makki. Yang dimaksud
oleh para ulama adalah kebalikan dari yang sebelumnya. Mereka memberi contoh
dengan firman Allah dalam surah an-Najm yang artinya; "(Yaitu) mereka yang
menjauhi dosadosa besar dan perbuatan keji dariyang selain dari
kesalahankesalahan kecil." (an-Najm: 32). As-Suyuti mengatakan;
"Perbuatan keji ialah setiap dosa yang ada sangsinya. Dosa-dosa besar
ialah setiap dosa yang mengakibatkan siksa neraka. Dan, kesalahan-kesalahan
kecil ialah apa yang terdapat di antara kedua batas dosa-dosa di atas. Sedang
di Makah belum ada sangsi dan yang serupa dengannya.
5.
Ayat
yang dibawa dari Makah ke Madinah. Contohnya adalah surat al-A'la. Diriwayatkan
oleh Bukhari dari Al-Barra' bin 'Azib yang mengatakan; "Orang yang pertama
kali datang kepada kami dari para sahabat nabi adalah Mushab bin Umair dan Ummi Maktum. Keduanya
membacakan al-Qurankepada kami. Sesudah itu datangalah Amar, Bilal dan Sa'ad.
Kemudian, datang pula Umar bin Khattab sebagai orang yang kedua puluh. Baru
setelah itu datanglah Nabi. Aku melihat penduduk Madinah bergembira setelah aku
membacakan; "Sabbih al-ism rabbiy al-a'la"di antara surah yang
semisal dengannya." Pengertian ini cocok dengan al-Quran yang dibawa oleh
golongan muhajirin, lalu merekaajarkan kepada kaum anshar.
6.
Yang
dibawa dari Madinah ke Makah. Contohnya adalah awal surah al-Bara’ah, yaitu
ketika Rasulullah memerintahkan kepada Abu Bakar untuk berhaji pada tahun ke
sembilan. Ketika awal surah al-Bara’ah turun, Rasulullah memerintahkan Ali bin
Abi Thalib untuk membawa ayat tersebut kepada Abu Bakar, agar ia sampaikan
kepada kaum musyrikin. Maka Abu Bakar membacakannya kepada mereka dan
mengumumkan bahwa setelah tahun ini tidak seorang musyrik pun diperbolehkan
berhaji.
7.
Ayat
yang turun pada malam hari dan siang hari. Kebanyakan ayat alQur’an itu turun
pada siang hari. Mengenai yang diturunkan pada malam hari, Abul Qasim Al-Hasanbin
Muhamman bin Habib AnNaisaburi telah menelitinya. Dia memberikan beberapa
contoh, di antaranya, "bagian-bagian akhir dari surah Ali Imran. Ibnu
Hibban dalam kitab sahihnya mengatakan; “Ibnul Munzir, ibnu Mardawaiah, dan
Ibnu Abud Dunya, meriwayatkandari Aisyah r.a.; Bilal datang kepada Nabi untuk
memberitahukanwaktu salat subuh, tetapi ia melihat nabi sedang menangis. Ia
bertanya, "Ya Rasulullah, apa yang menyebabkan Engkau menangis? Nabi
menjawab, "Bagaimana saya tidak menangis, padahal tadi malam diturunkan kepadaku; 'Sesungguhnya pada
penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orangorang yang berakal'." (Ali Imran:
190), kemudian katanya; "Celakalah orang yang membacanya, tetapi tidak
memikirkannya.Contoh lain adalah mengenai tiga orang yang tidak ikut berperang.
Terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim, hadits Ka'ab; "Allah menerima
tobat kami pada sepertiga malam yang terakhir. Contoh lain adalah awal surah
al-Fath. Terdapat dalam Shahih Bukhari dari hadis Umar; "Telah diturunkan
kepadaku pada malam ini sebuah surat yang lebih aku sukai daripada apa yang
disinari matahari." Kemudian beliau membacakan; "Sesunguhnya Kami
telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata”.
8.
Yang
turun di musim panas dan musim dingin. Para ulama memberi contoh ayat yang
turun di musim panas dengan ayat tentang kalalah yang terdapat dalam akhir
surat an-Nisa'. Dalam Shahih Muslim dari Umar dikemukakan; "Tidak ada yang
sering kutanyakan kepada Rasulullah tentang sesuatu seperti pertanyaanku
mengenai kalalah. Ia pun tidak pernah bersikap kasar tentang sesuatu urusan
seperti sikapnya kepadaku mengenai soal
kalalah ini. Sampai-sampai ia menekan dadaku dengan jarinya sambil
berkata; "Umar, belum cukupkah bagimu satu ayat yang diturunkan pada musim
panas yang terdapat di akhir surah an-Nisa’. Contoh lain ialah ayat-ayat yang
turun dalam Perang Tabuk. PerangTabuk itu terjadi pada musim panas yang berat
sekali, seperti dinyatakan dalam al-Quran. Sedang untuk yang turun di musim
dingin, mereka contohkan dengan ayat-ayat mengeni "tuduhan bohong"
yang terdapat dalam surah an-Nur ayat 11-26 ;
"Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu
adalah dari golongan kamu juga …"
sampai dengan "Bagi mereka ampunan dan rezeki yang
mulia.". Dalam hadis sahih dari A’isyah disebutkan; "Ayat-ayat itu
turun pada hari yang dingin." Contoh lain adalah ayat-ayat yang turun
mengenai Perang Khandaq, dari surah al-Ahzab. Ayat-ayat itu turun pada hari
yang amat dingin. Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwah, dari
Huzaifah yang mengatakan; "Orang-orang
meninggalkan Rasulullah pada malam peristiwa Ahzab, kecuali dua belas
orang lelaki. Lalu, Rasulullah datang kepadaku dan berkata; "Bangkit dan
berangkatlah ke medan perang Ahzab!" Aku menjawab; "Ya Rasulullah,
demi yang mengutus engkau dengan sebenarnya, aku mematuhi engkau karena malu
sebab hari dingin sekali.' Lalu, turun wahyu Allah; "Wahai orang-orang
beriman ingatlah akan nikmat Allah yang telah dikaruniakan kepadamu ketika
datang kepadamu tentara, lalu kami kirimkan kepada mereka angin topan dan
tentara yang tidak dapat kamu lihat. Dan Allah Maha Melihat segala yang kamu
kerjakan." (alAhzab: 9).
9.
Yang
turun pada waktu menetap dan yang turun di dalam perjalanan. Kebanyakan dari
al-Quran itu turun pada waktu menetap. Tetapi, perikehidupan Rasulullah penuh
dengan jihad dan peperangan di jalan Allah, sehingga wahyu pun turun juga dalam
perjalanan tersebut. Al-Suyuthi menyebutkan banyak contoh ayat yang turun dalam
perjalanan, di antaranya ialah awal surah al-Anfal yang turun di Badar setelah
selesai perang. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad melalui Sa'ad bin Abi Waqqas,
dan ayat 34 pada surat at-Taubah
"Dan, orang-orang yang menyimpan emas dan
perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah." (at-Taubah: 34).
Diriwayatkan
oleh Ahmad melalui Sauban, bahwa ayat tersebut turun ketika Rasulullah dalam
salah satu perjalanan. Juga awal surah al-Hajj. Imam Tirmidzi dan Hakim
meriwayatkan melalui Imran bin Husein yang mengatakan; "Ketika turun
kepada Nabi ayat; 'Hai manusia bertakwalah kepada Rabbmu, sesungguhnya
kegoncangan hari kiamat itu adalah sesuatu kejadian yang sangat besar …' sampai
denganfirman-Nya,'... tetapi azab Allah itu sangat kerasnya'." (al-Hajj:
1-2). Ayat ini diturunkan kepada Nabi sewaktu dalam perjalanan. Begitu juga
surah al-Fath. Diriwayatkan oleh Hakim dan yang lain, melalui Al-Miswar bin
Makhramah dan Marwan bin Al-Hakam, keduanya berkata; "Surah al-Fath, dari
awal sampai akhir, turun di antara Makah dan Madinah mengenai soal Hudaibiyah”.[8]
Kritik Orientalis Terhadap Makki-Madani
Dari gambaran di atas, persoalan Makki-Madani kemudian membuka
peluang kepada orientalis menuduh bahwa al-Qur‘an non Ilahiah, karena
terpengaruh oleh lingkungan. Tuduhan ini kemudian dijawab oleh Hadi Ma‘rifah
bahwa kita harus membedakan antara al-Qur‘an terpengaruhi oleh lingkungan atau
budaya dengan al-Qur‘an dalam berdakwah melihat objek dakwahnya. Dalam bahwa
dakwah, yukhatibun nasa bi qadri ‘ukulihim. Siapa pun ingin mengubah lingkungan
maka pertama kali harus lebih dahulu memperhatikan fenomena yang terjadi dalam
lingkungan. Dengan demikian ia dengan mudah berbicara sesuai dengan akal
mereka, dan pada akhirnya dakwahnya akan mudah diterima. Tidak berlawanan
dengan kultur yang sudah mendarah daging. Untuk lebih jelasnya saya akan
mengutip langsung keraguan dan tuduhan Orientalis terkait dengan al-Quran
non-Ilahi: yaitu bahwa metode yang digunakan surah-surah Makkiah adalah kekerasan,
tekanan dan cibiran. Sedangkan surah Madaniah adalah lemah lembut. Dua karakter
yang belawanan ini menjadikan alQur‘an, menurut mereka, terpengaruhi oleh
peristiwa-peristiwa, dan ketidak independenan al-Qur‘an.
Hadi Ma‘rifah dan Muhammad Husain Ad-Zhahabi telah menjawab tuduhan
ini dengan membuktikan bahwa sebenarnya ciri ancaman dan kata yang keras dalam
al-Qur‘an tidak hanya dikhususkan pada surah-surah Makkiah. Metode tekanan,
kekerasan juga terdapat dalam surah Madaniah. Menurutnya, siapa pun yang keras
kepala maka al-Qur‘an menggunakan dengan nada ancaman yang keras, baik itu
dalam surah Makkiah ataupun Madaniah. Hal itu terlihat dalam al-Qur‘an surah
al-Baqarah yang Madaniah:
“Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit
gila(al-Baqarah: 275).
Kerasnya nada-nada ayat di atas dalam rangka menyikapi orang-orang
munafik dan para ahli kitab yang keras kepala. Bahkan menurutnya, surah
alBaqarah ayat yang termasuk turun terakhir di Madinah disinyalirsebagai surah
yang paling keras nadanya.Disisi lain, banyak sekali surah-surah Makkiah yang
lemah lembut. Seperti surah Az-Zumar Ayat 53:
“Wahai hamba-hambaku yang telah berlebih-lebihan (berbuat dzalim)
kepada dirinya sendiri, janganlah kalian semua berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Pengampunlagi Maha Pengasih”.
Ayat Makkiah tersebut nadanya sangat lembut meski termasuk ayat
Makkiah. Dengan indikasi tersebut, Hadi Ma`rifah menyimpulkan bahwa al-Qur`an
tidak terpengaruhi oleh lingkungan dan dependen dari peristiwa. Selain itu,
kenyataan di atas juga memberikan data bahwa kriteria-kriteria ulama tentang
ciriciri khas Makki-Madani, seperti yang akan dibahas, hanyalah ciri-ciri umum.
Secara pribadi dengan melihat ragam macam pendapat dalam kriteria
Makki-Madani, maka pendapat yang paling bisa diterima adalah yang melandaskan
pada riwayat yang sahih dari sahabat dan tabi‘in.
Merekalah yang paling berhak dan mengetahui persoalan tersebut karena
mereka hidup dan menyaksikan langsung bagaimana, apa, dan dimana sebuah ayat
turun. Sebagaimana Ibnu Mas‘ud mengatakan bahwa “Demi Allah tiada Tuhan kecuali
Dia, tidak ada ayat al-Qur‘an turun kecuali saya tahu dimana turun, dan kepada
siapa turun, jika saya tahu ada seorang yang lebih tahu daripada saya tentang
al-Qur‘an yang bisa dicapai oleh unta niscaya akan saya datangi". Qadi Abu
Bakar Makki dan Madani tidak ada suatu
keterangan yang datang dari Rasulullah, akan tetapi semua mengacu pada hafalan
para sahabat dan tabi’in.
Ciri-Ciri/Perbedaan Surat Makiyah dan Madaniyah
Ada beberapa patokan yang dapat kita gunakan untuk mengetahui ayat Makiyah
ataupun Madaniyah. Di antara patokan atau ciri-ciri tersebut adalah:
a. Ciri-ciri Surat Makiyah
1. Setiap kalimat yang di dalamnya terdapat lafadh “Kallaa”, maka ia termasuk
Makiyah.
2. Setiap surat yang di dalamnya terdapat ayat sajdah adalah Makiyah.
3. Setiap surat yang dimulai dengan huruf hija’iyah. Kesemuanya adalah
Makiyah, kecuali surat al-Baqarah dan Ali ‘Imran.
4. Setiap surat yang di dalamnya terdapat kisah para Nabi dan kisah umat
terdahulu.
5. Setiap surat yang menceritakan Adam dan iblis kecuali surat al-Baqarah.
6. Setiap surat yang dimulai dengan ungkapan “Ya Ayyuha al-Nasu”, kecuali
surat al-Hajj.
7. Setiap surat yang ayatnya pendek-pendek.dakwah mengenai pokok-pokok
keimanan akan hari akhir dan memberi gambaran tentang syurga dan neraka.
8. Dakwah mengenai budi pekerti dan amal kebajikan.
9. Sanggahan terhadap kaum musyrikin dan celaan terhadap fikiran mereka.
b. Ciri-ciri Surat Madaniyah
1. Surat yang di dalamnya terdapat izin berperang, atau menyebut soal
peperangan dan menjelaskan hukum-hukumnya.
2. Surat yang di dalamnya terdapat rincian hukum hadd, faraidh, hukum sipil,
hukum sosial dan hukum antar-negara.
3. Surat yang di dalamnya terdapat uraian tentang kaum munafik, kecuali surat
al-Ankabut yang Makiyah.
4. Sebagian besar ayatnya panjang-panjang, dan susunan kalimatnya mengenai
humum bernada tenang.
5. Mengemukakan pembuktian mengenai kebenaran agama Islam secara terperinci.[9]
Faedah Makiyah dan Madaniyah
Pengetahuan
tentang Makki dan Madani banyak membawa hikmah dan faedah serta kegunaan
sebagai berikut:
1.
Untuk
dijadikan alat bantu dalam menafsirkan al-Qur’an. Sebab, pengetahuan mengenai
tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya
dengan tafsiran yang benar, sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian
umum lafadz, bukan sebab yang khusus.
2.
Mengetahui
dan mengerti sejarah pensyari’atan hukum-hukum Islam(tarikh al-tasyri’) yang
amat bijaksana dalam menerapkan peraturan- peraturan, disamping juga mengetahui
hikmah didisyari’atkannya suatu hukum (hikmah al-tasyri’).
3.
Meresapi
gaya bahasa al-Qur’an dan memanfaatkannya dalammetode berdakwah menuju Allah.
Sebab, setiap situasi mempunyaibahasa tersendiri.
4.
Dengan
mengetahui ilmu makki dan madani, kondisi masyarakat
Makah dan Madinah, khususnya pada waktu turunnya ayat dapat diketahui.[10]
Demikian
ini beberapa signifikansi dan faedah yang dapat diambil dalam mengetahui ilmu
makki dan madani, yang dapat memberikan gambaran secara gambangtentang
periodesasi turunnya ayat/surat melalui fase Makah dan Madinah dalam sejarah
peradaban gerak realitas teks alQur'anketika diturunkan kepada Muhammad untuk
disampaikan kepada umat manusia. Ada banyak hikmah, faedah, terlebih hikmah
al-tasyri’(hikmah disyari’atkannya hukum)
sebagaima maksud dan tujuan selanjutnya dari kajian ini.
Kesimpulan
Dari kajian yang sederhana kiranya kita bisa mengambil
beberapaintisari atau beberapa kesimpulan. Kesimpulan ini sesungguhnya hanya
sebagai hasil pembacaan penulis dalam kajian sederhana.Diantara kesimpulan itu
adalah konsep makki dan madani adalah sebuah kajian yang masih perlu dikaji dan
didiskusikan di zaman sekarang bagaimana pun juga dia ini adalah bagian dari
prasyarat pembelajaran atau studi tafsir dan kajian hukum Islam. Betapa tidak ketika
seorang mujtahid atau mufasir ketika menetapkan suatu ijtihad maka telaah akan
konsep makki dan madani adalah sebuah pertimbangan yang signifikan.
Disamping itu pula diskusi tentang perbedaan perspektif para ulama
tentang makki dan madani suatu hal yang sangat wajar dalam dunia akademik dan
intelektual, pandangan para orinetalis tentang makki dan madani tentang
keterpengaruhan budaya Arab memang secara metodologi sangat akurat untuk
dipertimbangkan, tapi lagi lagi dalam kajian seperti ini memang perlu adanya
usaha yang besardalam mengungkap kembali validitas data.
Daftar Kepustakaan
Abu Zaid, Nast Hamid, Tekstualitas Al-Qur‘an; Kritik Terhadap
Ulumul Qur‘an, terj. Mafhumum An-Nash Dirasah fi Ulum al-Qur‘an oleh
Khoirun Nahdliyin, (Yogyakarta, cet. IV, LKiS, 2005)
Az-Zarkasyi; Al-Burhan Fi ‘Ulumil Qur‘an, ditahqiq Muhammad
AbuFadl Ibrahim, Juz I, (Kairo, dar. At-Turast, tnp. thn)
Al-Qattan, Manna Khalil, Mabahis fi Ulumil Qur‘an
Ma‘rifat, M. Hadi. Sejarah Al-Qur‘an. terj. dari Tarikh Al-Qur‘an
oleh Thoha Musawa (Jakarta, Al-Huda,
cet. I, 2007)
As-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur'an (Jakarta,
Pustaka Firdaus, cet. II, 2001)
[1] Az-Zarkasyi,
Al-Burhan Fi ‘Ulumil Qur‘an, ditahqiq Muhammad Abu Fadl Ibrahim, Juz I,
Kairo, dar. At-Turast, tnp. thn. hal. 187.
[2]
Az-Zarkasyi, Al-Burhan Fi ‘Ulumil Qur‘an, ditahqiq Muhammad Abu Fadl
Ibrahim, Juz I,
Kairo, dar. At-Turast, tnp. thn. hal. 187.
[3] Az-Zarkasyi;
Al-Burhan,,, hal. 189
[4] Jalaluddin
As-Suyuti: al-itqan fi ulum al-qur‘an, tahqiq oleh Dar al-Kitab
al-‘Alamiyah,
juz. I tnp. thn. hal. 16
[5] Nasr
Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur‘an; Kritik Terhadap Ulumul Qur‘an, terj.
Mafhumum
An-Nash Dirasah fi Ulum Al-Qur‘an oleh Khoirun
Nahdliyin, (Yogyakarta, cet. IV, LKiS,
2005), hlm. 90. disadur dari As-Suyuti, Al-ItQanJuz,
I, hlm. 9.
[6] Manna
Khalil Al-Qattan, Mabahis fi Ulumil
Qur‘an, tahqiq oleh Dar al-Kitab al-‘Alamiyah,
tnp. thn. hal. 53-54.
[7] Al
qattan 73
[8] Manna
Khalil Al-Qattan, Mabahis fi Ulumil
Qur‘an, tahqiq oleh Dar al-Kitab al-‘Alamiyah,
tnp. thn. hal. 55-59
[9] Subhi
As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an,hlm. 227-229.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar