Rabu, 04 Maret 2015

MAKKIYAH-MADANIYAH DALAM AL-QUR’AN



MAKKIYAH-MADANIYAH DALAM AL-QUR’AN
M.Taufikurohman
 Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Abstraksi
Pembahasan makki dan madani dalam ulum al-Qur’an merupakan sebuah hal yang penting. Urgensi makki dan madani dapat dilihat dari kitab-kitab tafsir serta kitab-kitab yang didalamnya membahas ilmu-ilmu al-Qur’an, didalamnya hampir semua mufassir mencantumkan pembahasan tentang makki dan madani. Meski pembahasan tentang tema ini tidak sedetail atau sekomplek ilmu-ilmu al-Qur’an yang lain, akan tetapi ia merupakan salah satu hal yang mewajibkan para mufassir untuk mengetahuinya. Ini karena dengan mengetahui mana yang makki dan mana yang madani, seseorang akan mendapatkan gambaran awal tentang nasikh-mansukh. Oleh karena itu, pengetahuan tentang hal ini merupakan starting point bagi mufassir untuk menuju pembahasan nasikh-mansukh. Inilah alasan pentingnya pembahasan makki dan madani.
Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan wahyu yang turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Diantara fungsi turunnya al-Qur’an secara berangsur-berangsur adalah menyesuaikannya dengan kondisi yang sedang dihadapi Rasulullah saw.. Secara historis kehidupan Rasulullah lebih banyak berdomisili di mekkah dan madinah, meskipun pada event tertentu beliau mengadakan perjalanan ke wilayah lain. Sebagian ayat al-Qur’an itu diturunkan di mekkah dan di Madinah, sehingga muncullah istilah surat atau ayat-ayat madaniyyah. Hal yang menjadi daya tarik dalam persoalan makki dan madani adalah tidak adanya keterangan langsung dari Rasulullah tentang ketentuan-ketentuan surat makki dan madani, akan tetapi informasi mengenai hal ini didapat melalui hafalan para sahabat dan tabi’in. [1]Bahkan tidak jarang ulama hanya bersandarkan pada ijtihadi dalam pengklasifikasiannya. Namun, tidak berarti bahwa persoalan itu semuanya ijtihadi. Cukup menjadi pegangan dari riwayat sahabat yang melihat langsung cara penurunan wahyu.
Di sisi lain, para orientalis juga melontarkan kritikannya terkait dengan persoalan makki dan madani. Mereka menganggap bahwa adanya pengklsaifikasian surat menjadi makki dan madani merupakan indikasi bahwa al-Qur’an telah terpengaruh oleh lingkungan dan budaya, yang pada akhirnya mereka menuduh bahwa al-Qur’an bukan lagi wahyu ilahi. Tulisan ini akan berbicara mengenai konsep makkiyah dan madaniyah yang menggunakan pendekatan deskriptif-analitik.
Pengertian Makki-Madani
Ulama’ ahli tafsir berbeda pendapat dalam mendefinisikan ayat atau surat makkiyah-madaniyyah. Dari perbedaan pendapat ini, muncullah beberapa definisi yang didalamnya memuat konsep yang berbeda antara teori satu dengan teori yang lainnya.
Kata Makki dan Madani merupakan bagian dari terma yang ada dalam kajian al-Qur'an, yang dimaksudkan untuk memberikan nama jenis surat/ayat dalam al-Qur'an. Keduanya lahir dari dua nama kota besar yang ada di Jazirah Arab, yaitu Makah dan Madinah. Selanjutnya dinisbahkan dengan isim sifat, yang ditandai dengan alamat ya’ nisbah, maka jadilah kata Makki dan Madani.
Secara ringkas, surat Makiyah didefinisikan sebagai wahyu yang turun kepada Muhammad sebelum hijrah, meskipun surat itu tidak turun di Makah. Sedangkan Madaniyah ialah surat/ayat yang turun kepada rasulullah setelah hijrah, walaupun surat atau ayat itu turun di Makah. Seperti yang turun pada saat  fathu Makkah  (penaklukan kota Makah), waktu haji  wada' (perpisahan) atau dalam perjalanannya.

Selanjutnya, Az-Zarkasyi dalam al-Burhan memberikan klasifikasi tentang pengertian makkiyah dan madaniyah. Klasifikasi teori tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Dari segi waktu turunnya. Makki adalah yang diturunkan sebelum hijrah meskipun bukan di Makah. Adapun Madani adalah yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun bukan  di Madinah. Yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun di Makah atau Arafah adalah Madani, seperti yang diturunkan pada  tahun penaklukan kota Makah.
2.      Dari segi tempat turunnya. Makkiialah yang turun di Makah dan sekitarnya, seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyah. Dan Madani ialah yang turun di Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud, Quba, dan Sil. Pendapat ini mengakibatkan tidak adanya pembagian secara kongkret yang mendua, sebab yang turun dalam perjalanan, di Tabuk atau di Baitul Makdis, tidak termasuk ke dalam salah satu bagiannya, sehingga ia tidak dinamakan Makkidan tidak juga Madani. Juga mengakibatkan bahwa yang diturunkan di Makah sesudah hijrah disebut Makki.
3.      Dari segi sasarannya (i’tibar al-mukhatab). Makki adalah yang seruannya ditujukan kepada penduduk Makah dan Madani adalah yang seruannya ditujukan kepada penduduk Madinah. Berdasarkan pendapat ini, para pendukungnya menyatakan bahwa ayat al-Quran yang mengandung seruan ya ayyuha an-nas (wahai manusia) adalah Makki, sedang ayat yang mengandung seruan ya ayyuha al-lazhina amanu (wahai orang-orang yang beriman) adalah Madani.[2]
Tolak Ukur Makki-Madani
Definisi-definisi di atas jika berdiri sendiri, maka tidak bisa menjadi sebagai tolak ukur universal karena misalnya, dalam surah Madaniah seperti al-Baqarah juga terdapat kata-kata “Wahai manusia...” Sehingga ketiga tolak ukur di atas harus digabungkan dengan ditambah lagi dengan dua metode lainnya sebagaimana yang dikatakan oleh al-ja’fari yang dikutip oleh Az-Zarkasyi dalam kitab al-burhan fii ulum al-Qur’an yaitu cara sama`i dan Qiyasi.[3]
Cara pertama didasarkan pada riwayat sahih dari para sahabat yang hidup pada saat dan menyaksikan turunnya wahyu, atau dari para tabi’in yang menerima dan mendengar dari para sahabat bagaimana, di mana, dan peristiwa apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu itu.Sebagian besar penentuan Makki dan Madani itu didasarkan pada cara pertama ini. Contoh-contoh di atas merupakan bukti paling baik baginya. Penjelasan tentang penentuan tersebut telah memenuhi kitabkitab tafsir bi al-ma'tsur, kitab-kitab asbab an-nuzul dan pembahasan pembahasan mengenai ilmu-ilmu al-Quran. Namun demikian, tentang hal tersebut tidak terdapat sedikit pun keterangan dari Rasulullah, karena ia tidak termasuk suatu kewajiban, kecuali dalam batas yang dapat membedakan mana yang nasikhdan mana yang mansukh.[4]
Sedangkan cara qiyas ijtihadi adalah cara yang bersandar pada ijtihad bukan pada riwayat. Cara ini hanya melihat sifat sebuah ayat. Apabila dalam surah Makkiah ada sebuah ayat yang sifatnya Madani maka ayat itu Madani, dan apabila dalam surah Madinah terdapat ayat yang sifatnya Makkiah maka ia ayat Makkiah.
Kriteria-kriteria di atas hanyalah ciri-ciri umum, belum final. Mengabsolutkan satu kriteria Makki-Madani menurut Nasr Hamid Abu Zaid akan menyusahkan kita, meski secara pribadi dia mendukung pendapat mayoritas tentang Makki-Madani; yaitu ditinjau dari segi waktu hijrah, ayat yang turun sebelum Hijrah maka ia Makki,dan Madani adalah yang turun setelahnya, baik turun di Makkah ataupun di Madinah, pada tahun penaklukan (Makkah) atau haji wada,atau dalam perjalan. Karenanya, kriteria klasifikasi seharusnya didasarkan pada realitas, pada satu sisi, dan pada teks pada sisi lain. Karena teks bergerak bersama realitas yang pada akhirnya mempengaruhi isi dan strukturnya. Hal ini sesuai dengan realitas dalam al-Qur‘an bahwa ayat Makki struktur ayatnya pendek-pendek dan dengan penuh i‘jaz dan balaghat tinggi, karena pada saat itu ia berkomunikasi dengan orang Makki yaang secara watak terkenal keras kepala, dan mahir dalam balaghat. Ayat yang pendek dengan penuh i‘jaz karena karena sebagai tahaddi pada penyair-penyair orang Musyrik sehingga ayat-ayat Makki juga biasanya dimulai dengan huruf muqata‘ah.
Masih menurut Nasr Hamid, pada fase indzar yaitu Makki, ayat al-Qur‘an benar-benar memakai metode dakwah yang melihat objek yang didakwahi. Kebanyakan ayat Makki menggunakan kata-kata persuasif,sedangkan pada Fase Risalah atau Madani ayat al-Qur‘an cenderung panjang-panjang karena memang objek dakwahnya berbeda dan lebihpada transformasi informasi dan lebih banyak terkait dengan hukumIslam syariah islamiah daripada persoalan akidah.[5]
Hal yang perlu diketahui yaitu bahwasannya penentuan ayat atau surat Makki dan Madani tersebut tetap bersandar pada sebuah prinsip yang sudah pasti dilatar belakangi ‘illat  yang argumentatif. Diantara dasar-dasar penentuan Makiyah dan Madaniyah adalah;
1.      Dasar aghlabiyah (mayoritas)
Yang dimaksudkan dengan dasar mayoritas adalah kalau sesuatu surat itu mayoritas atau kebanyakan ayat-ayatnya adalah Makiyah, maka disebut sebagai surat Makiyah. Sebaliknya, jika yang terbanyak ayatayatnya adalah Madaniyah, atau diturunkan setelah nabi hijrah ke Madinah, maka surat tersebut dinamakan Madaniyah.
2.      Dasar tabi’iyyah (kontinuitas)
Yang dimaksudkan dengan dasar kontinuitas yaitu kalau permulaan sesuatu surat itu didahului dengan ayat yang turun di Makah atau turun sebelum hijrah, maka surat tersebut dinamakan Makiyah. Begitu pula sebaliknya jika ayat-ayat pertama dari suaru surat itu diturunkan di Madinah atau yang berisi hukum-hukum syari’at, maka surat tersebut dinamakan sebagai surat Madaniyah.
Dasar tabi’iyah di atas untuk menetapkan surat dalam al-Qur'an termasuk Makki atau Madani ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas r.a;
Artinya; “Kalau awal surat itu diturunkan di Makah, maka dicatat sebagai surat Makiyah, lalu Allah menambahkan dalam surat itu ayat-ayat yang dikehendaki-Nya”.
Teori Makki-Madani
Al-Qatthan dalam kitab Mabahis dengan mengutip pendapat Abul Qasim al-Hasan bin Muhammad bin Habib an-Naisabuuri mengatakan bahwasannya “diantara ilmu-ilmu yang paling mulia adalah ilmu tentang nuzulul qur‘an dan daerahnya, urutan turunnya di Mekkah dan di Madinah, tentang yang diturunkan di Mekkah tetapi hukumnya madani dan sebaliknya, dan tentang yang diturunkan di Juhfah, di Baitul Makdis, Taif, atau Hudaibiyah, di waktu siang, diturunkan secara bersama-sama, atauditurunkan secara sendiri-sendiri, ayat-ayat madaniah dari surah-surah al-Makkiah, ayat-ayat Makkiah dalam surah Madaniah; yang dibawa dari Mekkah ke Madinah dan yang dibawa dari Madinah ke Mekkah;yang dibawa dari Madinah ke Abesinia, yang diturunkan secara global dan yang telah dijelaskan, serta yang diperselisihkan sehingga sebagian orang mengatakan Madani dan sebagian mengatakan Makki. Itu semua ada duapuluh lima macam. Orang yang tidak mengetahuinya dan tak dapat membeda-bedakannya, ia tidak berhak berbicara tentang Qur‘an.”[6]
Statement di atas menunjukkan pentingnya mengetahui ayat Makki dan Madani sebagai salah satu alat yang membantu dalam memahami maksud ayat tertentu. Tidak mengherankan kemudian jika pembahasan tersebut menjadi pembahasan yang didahulukan daripada pembahasan ilmu-ilmu al-Qur’an yang lain. Dengan demikian, AnNaisaburi di atas secara tegas mengatakan bahwa seseorang tidak berhak berbicara al-Qur‘an kecuali telah mengetahui persoalan Makki-Madani. Kemudian Manna Al-Kattan merinci poin per poin pembahasan tersebut sebagai berikut: 1) ayat yang turun di Mekkah 2) yang turun di Madinah; 3) yang diperselisihkan; 4) ayat-ayat Makkiah dalam surah Madaniah; 5) ayat Madaniah dalam surah Makkiah; 6) yang diturunkan di Mekkah sedang hukumnya di Madinah; 7) yang diturunkan di Madinah sedang hukumnya di Mekkah; 8) yang serupa dengan yang diturunkan di Mekkah (makki) dalam kelompok madani; 9) yang serupa diturunkan di Madinah (madani) dengan kelompok Makki; 10) yang dibawa dari Mekkah ke Madinah; 11) yang dibawa dari Madinah ke Mekkah; 12) yang turun waktu malam dan siang; 13) yang turun musim panas dan dingin; 14) yang turun waktu menetap dan dalam perjalanan.[7]
Selanjutnya, dalam Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an Manna’ Al-Qatthan juga memberikan klasifikasi makki dan madani secara lebih rinci sebagai berikut;
1.       Ayat yang diturunkan di Makah sedang hukumya Madani. Mereka memberi contoh dengan firman Allah

13.  Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Ayat ini diturunkan di Makah pada hari penaklukan kota Makah, tetapi sebenarnya  Madaniyah, karena diturunkan sesudah hijrah, di samping itu seruannya pun bersifat umum. Ayat seperti ini oleh para ulama tidak dinamakan Makki dan tidak pula dinamakan Madani secara pasti. Tetapi, mereka katakan; "Ayat yang diturukan di Mekah sedangkan hukumnya Madani”.
2.       Ayat yang diturunkan di Madinah sedang hukumnya Makki. Mereka memberi contoh dengan surah al-Mumtahanah. Surah ini diturunkan di Madinah dilihat darisegi tempat turunnya, tetapi seruannya ditujukan kepada orang musyrik penduduk Makah. Juga seperti permulaan surah al-Bara’ah yang diturunkan di Madinah, tetapi seruannya ditujukan kepada orang-orang musyrik penduduk Makah.
3.       Ayat yang serupa dengan yang diturunkan di Makah (Makki) dalam Madani. Yang dimaksud para ulama ialah ayat-ayat yang dalam surat Madaniyah, tetapi mempunyai gaya bahasa dan ciri-ciri umum surah Makiyah. Contohnya, firman Allah dalam surah al-Anfal yang Madaniyah, yang artinya; "Dan ingatlah ketika mereka–golongan musyrik—berkata; "Ya Allah, jika benar (al-Quran) ini dari Engkau, hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada musim panas dan dingin; (14) yang turun pada waktu menetap dan dalam perjalanan.kami azab yang pedih." (al-Anfal: 32). Ini mengingat permintaan kaum musyrikin untuk disegerakan azab itu adalah di Makah.
4.       Yang serupa dengan yang diturunkan di Madinah (Madani) dalam Makki. Yang dimaksud oleh para ulama adalah kebalikan dari yang sebelumnya. Mereka memberi contoh dengan firman Allah dalam surah an-Najm yang artinya; "(Yaitu) mereka yang menjauhi dosadosa besar dan perbuatan keji dariyang selain dari kesalahankesalahan kecil." (an-Najm: 32). As-Suyuti mengatakan; "Perbuatan keji ialah setiap dosa yang ada sangsinya. Dosa-dosa besar ialah setiap dosa yang mengakibatkan siksa neraka. Dan, kesalahan-kesalahan kecil ialah apa yang terdapat di antara kedua batas dosa-dosa di atas. Sedang di Makah belum ada sangsi dan yang serupa dengannya.
5.       Ayat yang dibawa dari Makah ke Madinah. Contohnya adalah surat al-A'la. Diriwayatkan oleh Bukhari dari Al-Barra' bin 'Azib yang mengatakan; "Orang yang pertama kali datang kepada kami dari para sahabat nabi adalah Mushab  bin Umair dan Ummi Maktum. Keduanya membacakan al-Qurankepada kami. Sesudah itu datangalah Amar, Bilal dan Sa'ad. Kemudian, datang pula Umar bin Khattab sebagai orang yang kedua puluh. Baru setelah itu datanglah Nabi. Aku melihat penduduk Madinah bergembira setelah aku membacakan; "Sabbih al-ism rabbiy al-a'la"di antara surah yang semisal dengannya." Pengertian ini cocok dengan al-Quran yang dibawa oleh golongan muhajirin, lalu merekaajarkan kepada kaum anshar.
6.       Yang dibawa dari Madinah ke Makah. Contohnya adalah awal surah al-Bara’ah, yaitu ketika Rasulullah memerintahkan kepada Abu Bakar untuk berhaji pada tahun ke sembilan. Ketika awal surah al-Bara’ah turun, Rasulullah memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk membawa ayat tersebut kepada Abu Bakar, agar ia sampaikan kepada kaum musyrikin. Maka Abu Bakar membacakannya kepada mereka dan mengumumkan bahwa setelah tahun ini tidak seorang musyrik pun diperbolehkan berhaji.
7.       Ayat yang turun pada malam hari dan siang hari. Kebanyakan ayat alQur’an itu turun pada siang hari. Mengenai yang diturunkan pada malam hari, Abul Qasim Al-Hasanbin Muhamman bin Habib AnNaisaburi telah menelitinya. Dia memberikan beberapa contoh, di antaranya, "bagian-bagian akhir dari surah Ali Imran. Ibnu Hibban dalam kitab sahihnya mengatakan; “Ibnul Munzir, ibnu Mardawaiah, dan Ibnu Abud Dunya, meriwayatkandari Aisyah r.a.; Bilal datang kepada Nabi untuk memberitahukanwaktu salat subuh, tetapi ia melihat nabi sedang menangis. Ia bertanya, "Ya Rasulullah, apa yang menyebabkan Engkau menangis? Nabi menjawab, "Bagaimana saya tidak menangis, padahal tadi  malam diturunkan kepadaku; 'Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orangorang yang berakal'." (Ali Imran: 190), kemudian katanya; "Celakalah orang yang membacanya, tetapi tidak memikirkannya.Contoh lain adalah mengenai tiga orang yang tidak ikut berperang. Terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim, hadits Ka'ab; "Allah menerima tobat kami pada sepertiga malam yang terakhir. Contoh lain adalah awal surah al-Fath. Terdapat dalam Shahih Bukhari dari hadis Umar; "Telah diturunkan kepadaku pada malam ini sebuah surat yang lebih aku sukai daripada apa yang disinari matahari." Kemudian beliau membacakan; "Sesunguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata”.
8.       Yang turun di musim panas dan musim dingin. Para ulama memberi contoh ayat yang turun di musim panas dengan ayat tentang kalalah yang terdapat dalam akhir surat an-Nisa'. Dalam Shahih Muslim dari Umar dikemukakan; "Tidak ada yang sering kutanyakan kepada Rasulullah tentang sesuatu seperti pertanyaanku mengenai kalalah. Ia pun tidak pernah bersikap kasar tentang sesuatu urusan seperti sikapnya kepadaku mengenai soal  kalalah ini. Sampai-sampai ia menekan dadaku dengan jarinya sambil berkata; "Umar, belum cukupkah bagimu satu ayat yang diturunkan pada musim panas yang terdapat di akhir surah an-Nisa’. Contoh lain ialah ayat-ayat yang turun dalam Perang Tabuk. PerangTabuk itu terjadi pada musim panas yang berat sekali, seperti dinyatakan dalam al-Quran. Sedang untuk yang turun di musim dingin, mereka contohkan dengan ayat-ayat mengeni "tuduhan bohong" yang terdapat dalam surah an-Nur ayat 11-26 ;
"Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga …"
sampai dengan "Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia.". Dalam hadis sahih dari A’isyah disebutkan; "Ayat-ayat itu turun pada hari yang dingin." Contoh lain adalah ayat-ayat yang turun mengenai Perang Khandaq, dari surah al-Ahzab. Ayat-ayat itu turun pada hari yang amat dingin. Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwah, dari Huzaifah yang mengatakan; "Orang-orang  meninggalkan Rasulullah pada malam peristiwa Ahzab, kecuali dua belas orang lelaki. Lalu, Rasulullah datang kepadaku dan berkata; "Bangkit dan berangkatlah ke medan perang Ahzab!" Aku menjawab; "Ya Rasulullah, demi yang mengutus engkau dengan sebenarnya, aku mematuhi engkau karena malu sebab hari dingin sekali.' Lalu, turun wahyu Allah; "Wahai orang-orang beriman ingatlah akan nikmat Allah yang telah dikaruniakan kepadamu ketika datang kepadamu tentara, lalu kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu lihat. Dan Allah Maha Melihat segala yang kamu kerjakan." (alAhzab: 9).
9.       Yang turun pada waktu menetap dan yang turun di dalam perjalanan. Kebanyakan dari al-Quran itu turun pada waktu menetap. Tetapi, perikehidupan Rasulullah penuh dengan jihad dan peperangan di jalan Allah, sehingga wahyu pun turun juga dalam perjalanan tersebut. Al-Suyuthi menyebutkan banyak contoh ayat yang turun dalam perjalanan, di antaranya ialah awal surah al-Anfal yang turun di Badar setelah selesai perang. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad melalui Sa'ad bin Abi Waqqas, dan ayat 34 pada surat at-Taubah

 "Dan, orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah." (at-Taubah: 34).
Diriwayatkan oleh Ahmad melalui Sauban, bahwa ayat tersebut turun ketika Rasulullah dalam salah satu perjalanan. Juga awal surah al-Hajj. Imam Tirmidzi dan Hakim meriwayatkan melalui Imran bin Husein yang mengatakan; "Ketika turun kepada Nabi ayat; 'Hai manusia bertakwalah kepada Rabbmu, sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah sesuatu kejadian yang sangat besar …' sampai denganfirman-Nya,'... tetapi azab Allah itu sangat kerasnya'." (al-Hajj: 1-2). Ayat ini diturunkan kepada Nabi sewaktu dalam perjalanan. Begitu juga surah al-Fath. Diriwayatkan oleh Hakim dan yang lain, melalui Al-Miswar bin Makhramah dan Marwan bin Al-Hakam, keduanya berkata; "Surah al-Fath, dari awal sampai akhir, turun di antara Makah dan Madinah mengenai soal Hudaibiyah”.[8]
Kritik Orientalis Terhadap Makki-Madani
Dari gambaran di atas, persoalan Makki-Madani kemudian membuka peluang kepada orientalis menuduh bahwa al-Qur‘an non Ilahiah, karena terpengaruh oleh lingkungan. Tuduhan ini kemudian dijawab oleh Hadi Ma‘rifah bahwa kita harus membedakan antara al-Qur‘an terpengaruhi oleh lingkungan atau budaya dengan al-Qur‘an dalam berdakwah melihat objek dakwahnya. Dalam bahwa dakwah, yukhatibun nasa bi qadri ‘ukulihim. Siapa pun ingin mengubah lingkungan maka pertama kali harus lebih dahulu memperhatikan fenomena yang terjadi dalam lingkungan. Dengan demikian ia dengan mudah berbicara sesuai dengan akal mereka, dan pada akhirnya dakwahnya akan mudah diterima. Tidak berlawanan dengan kultur yang sudah mendarah daging. Untuk lebih jelasnya saya akan mengutip langsung keraguan dan tuduhan Orientalis terkait dengan al-Quran non-Ilahi: yaitu bahwa metode yang digunakan surah-surah Makkiah adalah kekerasan, tekanan dan cibiran. Sedangkan surah Madaniah adalah lemah lembut. Dua karakter yang belawanan ini menjadikan alQur‘an, menurut mereka, terpengaruhi oleh peristiwa-peristiwa, dan ketidak independenan al-Qur‘an.
Hadi Ma‘rifah dan Muhammad Husain Ad-Zhahabi telah menjawab tuduhan ini dengan membuktikan bahwa sebenarnya ciri ancaman dan kata yang keras dalam al-Qur‘an tidak hanya dikhususkan pada surah-surah Makkiah. Metode tekanan, kekerasan juga terdapat dalam surah Madaniah. Menurutnya, siapa pun yang keras kepala maka al-Qur‘an menggunakan dengan nada ancaman yang keras, baik itu dalam surah Makkiah ataupun Madaniah. Hal itu terlihat dalam al-Qur‘an surah al-Baqarah yang Madaniah:

“Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila(al-Baqarah: 275).
Kerasnya nada-nada ayat di atas dalam rangka menyikapi orang-orang munafik dan para ahli kitab yang keras kepala. Bahkan menurutnya, surah alBaqarah ayat yang termasuk turun terakhir di Madinah disinyalirsebagai surah yang paling keras nadanya.Disisi lain, banyak sekali surah-surah Makkiah yang lemah lembut. Seperti surah Az-Zumar Ayat 53:

“Wahai hamba-hambaku yang telah berlebih-lebihan (berbuat dzalim) kepada dirinya sendiri, janganlah kalian semua berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampunlagi Maha Pengasih”.
Ayat Makkiah tersebut nadanya sangat lembut meski termasuk ayat Makkiah. Dengan indikasi tersebut, Hadi Ma`rifah menyimpulkan bahwa al-Qur`an tidak terpengaruhi oleh lingkungan dan dependen dari peristiwa. Selain itu, kenyataan di atas juga memberikan data bahwa kriteria-kriteria ulama tentang ciriciri khas Makki-Madani, seperti yang akan dibahas, hanyalah ciri-ciri umum.
Secara pribadi dengan melihat ragam macam pendapat dalam kriteria Makki-Madani, maka pendapat yang paling bisa diterima adalah yang melandaskan pada riwayat yang sahih dari sahabat dan tabi‘in.
Merekalah yang paling berhak dan mengetahui persoalan tersebut karena mereka hidup dan menyaksikan langsung bagaimana, apa, dan dimana sebuah ayat turun. Sebagaimana Ibnu Mas‘ud mengatakan bahwa “Demi Allah tiada Tuhan kecuali Dia, tidak ada ayat al-Qur‘an turun kecuali saya tahu dimana turun, dan kepada siapa turun, jika saya tahu ada seorang yang lebih tahu daripada saya tentang al-Qur‘an yang bisa dicapai oleh unta niscaya akan saya datangi". Qadi Abu Bakar  Makki dan Madani tidak ada suatu keterangan yang datang dari Rasulullah, akan tetapi semua mengacu pada hafalan para sahabat dan tabi’in.
Ciri-Ciri/Perbedaan Surat Makiyah dan Madaniyah
Ada beberapa patokan yang dapat kita gunakan untuk mengetahui ayat Makiyah ataupun Madaniyah. Di antara patokan atau ciri-ciri tersebut adalah:
a.       Ciri-ciri Surat Makiyah
1.      Setiap kalimat yang di dalamnya terdapat lafadh “Kallaa”, maka ia termasuk Makiyah.
2.      Setiap surat yang di dalamnya terdapat ayat sajdah adalah Makiyah.
3.      Setiap surat yang dimulai dengan huruf hija’iyah. Kesemuanya adalah Makiyah, kecuali surat al-Baqarah dan Ali ‘Imran.
4.      Setiap surat yang di dalamnya terdapat kisah para Nabi dan kisah umat terdahulu.
5.      Setiap surat yang menceritakan Adam dan iblis kecuali surat al-Baqarah.
6.      Setiap surat yang dimulai dengan ungkapan “Ya Ayyuha al-Nasu”, kecuali surat al-Hajj.
7.      Setiap surat yang ayatnya pendek-pendek.dakwah mengenai pokok-pokok keimanan akan hari akhir dan memberi gambaran tentang syurga dan neraka.
8.      Dakwah mengenai budi pekerti dan amal kebajikan.
9.      Sanggahan terhadap kaum musyrikin dan celaan terhadap fikiran mereka.
b.      Ciri-ciri Surat Madaniyah
1.      Surat yang di dalamnya terdapat izin berperang, atau menyebut soal peperangan dan menjelaskan hukum-hukumnya.
2.      Surat yang di dalamnya terdapat rincian hukum hadd, faraidh, hukum sipil, hukum sosial dan hukum antar-negara.
3.      Surat yang di dalamnya terdapat uraian tentang kaum munafik, kecuali surat al-Ankabut yang Makiyah.
4.      Sebagian besar ayatnya panjang-panjang, dan susunan kalimatnya mengenai humum bernada tenang.
5.      Mengemukakan pembuktian mengenai kebenaran agama Islam secara terperinci.[9]
Faedah Makiyah dan Madaniyah
Pengetahuan tentang Makki dan Madani banyak membawa hikmah dan faedah serta kegunaan sebagai berikut:
1.      Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan al-Qur’an. Sebab, pengetahuan mengenai tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya dengan tafsiran yang benar, sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum lafadz, bukan sebab yang khusus.
2.      Mengetahui dan mengerti sejarah pensyari’atan hukum-hukum Islam(tarikh al-tasyri’) yang amat bijaksana dalam menerapkan peraturan- peraturan, disamping juga mengetahui hikmah didisyari’atkannya suatu hukum (hikmah al-tasyri’).
3.      Meresapi gaya bahasa al-Qur’an dan memanfaatkannya dalammetode berdakwah menuju Allah. Sebab, setiap situasi mempunyaibahasa tersendiri.
4.      Dengan mengetahui ilmu makki dan madani, kondisi masyarakat
Makah dan Madinah, khususnya pada waktu turunnya ayat dapat diketahui.[10]
Demikian ini beberapa signifikansi dan faedah yang dapat diambil dalam mengetahui ilmu makki dan madani, yang dapat memberikan gambaran secara gambangtentang periodesasi turunnya ayat/surat melalui fase Makah dan Madinah dalam sejarah peradaban gerak realitas teks alQur'anketika diturunkan kepada Muhammad untuk disampaikan kepada umat manusia. Ada banyak hikmah, faedah, terlebih hikmah al-tasyri’(hikmah disyari’atkannya hukum)  sebagaima maksud dan tujuan selanjutnya dari kajian ini.

Kesimpulan
Dari kajian yang sederhana kiranya kita bisa mengambil beberapaintisari atau beberapa kesimpulan. Kesimpulan ini sesungguhnya hanya sebagai hasil pembacaan penulis dalam kajian sederhana.Diantara kesimpulan itu adalah konsep makki dan madani adalah sebuah kajian yang masih perlu dikaji dan didiskusikan di zaman sekarang bagaimana pun juga dia ini adalah bagian dari prasyarat pembelajaran atau studi tafsir dan kajian hukum Islam. Betapa tidak ketika seorang mujtahid atau mufasir ketika menetapkan suatu ijtihad maka telaah akan konsep makki dan madani adalah sebuah pertimbangan yang signifikan.
Disamping itu pula diskusi tentang perbedaan perspektif para ulama tentang makki dan madani suatu hal yang sangat wajar dalam dunia akademik dan intelektual, pandangan para orinetalis tentang makki dan madani tentang keterpengaruhan budaya Arab memang secara metodologi sangat akurat untuk dipertimbangkan, tapi lagi lagi dalam kajian seperti ini memang perlu adanya usaha yang besardalam mengungkap kembali validitas data.


Daftar Kepustakaan
Abu Zaid, Nast Hamid, Tekstualitas Al-Qur‘an; Kritik Terhadap Ulumul Qur‘an, terj. Mafhumum An-Nash Dirasah fi Ulum al-Qur‘an oleh Khoirun Nahdliyin, (Yogyakarta, cet. IV, LKiS, 2005)
Az-Zarkasyi; Al-Burhan Fi ‘Ulumil Qur‘an, ditahqiq Muhammad AbuFadl Ibrahim, Juz I, (Kairo, dar. At-Turast, tnp. thn)
Al-Qattan, Manna Khalil, Mabahis fi Ulumil Qur‘an
Ma‘rifat, M. Hadi. Sejarah Al-Qur‘an. terj. dari Tarikh Al-Qur‘an oleh Thoha Musawa  (Jakarta, Al-Huda, cet. I, 2007)
As-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur'an (Jakarta, Pustaka Firdaus, cet. II, 2001)


[1] Az-Zarkasyi, Al-Burhan Fi ‘Ulumil Qur‘an, ditahqiq Muhammad Abu Fadl Ibrahim, Juz I,
Kairo, dar. At-Turast, tnp. thn. hal. 187.
[2] Az-Zarkasyi, Al-Burhan Fi ‘Ulumil Qur‘an, ditahqiq Muhammad Abu Fadl Ibrahim, Juz I,
Kairo, dar. At-Turast, tnp. thn. hal. 187.
[3] Az-Zarkasyi; Al-Burhan,,, hal. 189
[4] Jalaluddin As-Suyuti: al-itqan fi ulum al-qur‘an, tahqiq oleh Dar al-Kitab al-‘Alamiyah,
juz. I tnp. thn. hal. 16
[5] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur‘an; Kritik Terhadap Ulumul Qur‘an, terj. Mafhumum
An-Nash Dirasah fi Ulum Al-Qur‘an oleh Khoirun Nahdliyin, (Yogyakarta, cet. IV, LKiS,
2005), hlm. 90. disadur dari As-Suyuti, Al-ItQanJuz, I, hlm. 9.
[6] Manna Khalil Al-Qattan,  Mabahis fi Ulumil Qur‘an, tahqiq oleh Dar al-Kitab al-‘Alamiyah,
tnp. thn. hal. 53-54.
[7] Al qattan 73
[8] Manna Khalil Al-Qattan,  Mabahis fi Ulumil Qur‘an, tahqiq oleh Dar al-Kitab al-‘Alamiyah,
tnp. thn. hal. 55-59
[9] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an,hlm. 227-229.
[10] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Imu, 2008), hlm. 101-104.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar