HADIS PASCA TERBUNUHNYA USMAN:
SEBUAH PENDEKATAN SOSIO-HISTORIS
SEBUAH PENDEKATAN SOSIO-HISTORIS
Muhammad Taufikurohman
Abstract
This
article explore the development of hadis after the death of caliph Usman bin
Affan. There are some differences side of hadis after the third caliph of Khulafaur’
Rasyidin (Usman bin Affan) passed away. Here, I use sosio-historical approach
to get a comprehensive understanding on this motion. Style conduction of caliph
Usman bin Affan which is different than before (more flexible) influence to the
flowering of hadis. Sanad and also some sciences of hadis appear after this
event.
Kata kunci: Fitnatul Kubra, Pemalsuan
hadis, Tradisi sanad.
A.
Pendahuluan
Hadis sampai ditangan umat islam sekarang ini, memiliki perjalanan
sejarah yang panjang. Mulai dari keluarnya hadis dari mulut Rasulullah saw,
tingkah laku serta ketetapan beliau yang disampaikan kepada para sahabatnya
hingga masa dibukukannya hadis secara serentak pada masa Umar bin Abdul ‘Aziz.
Hadis berkembang melalui tradisi lisan para sahabat yang mengandalkan kekuatan
daya hafal mereka serta sedikit adanya penulisan. Di awal perkembangan Islam para sahabat lebih memusatkan
perhatiannya terhadap al-Qur’an dari pada hadis. Hal ini juga berkaitan dengan
sikap masing-masing sahabat yang berbeda dalam memperhatikan perkembangan
hadis.
Secara historis, periodesasi hadis menurut versi Hasbi
ash-Shiddiqiey dibagi menjadi tujuh periode.[1]
Dimulai dari periode pertama yaituashr wahy wa al-taqwim, masa wahyu dan
pembentukan hukum serta dasar-dasarnya dari permulaan nabi menjadi rasul yang
menyampaikan risalah yang diterimanya sampai beliau wafat (13 SH-11H); ashr
tatsbut wa al-iklal min al-riwayah, masa pembatasan riwayat yaitu pada masa Khulafa’ Rasyidin (12H-40H); ashr intisyar riwayat ila
al-amshar, masa perkembangan riwayat dan perlawatan hadis yang
dilakukan oleh sahabat kecil dan tabi’in besar (41H- akhir
abad I H);ashr al-kitabat wa al-tadwin, masa
dilakukannya pembukuan hadis (abad ke-2 hingga akhir); ashr tajrid
wa altashih wa
al-tanqih, masa pentashhihan dan penyaringan hadis (awal abad ke-3H
hingga akhir); ashr Tahdzib wa
al-tartib wa al-istidrak
wa al-jam’u, masa menapis
kitab-kitab hadis dan menyusun kitab-kitab jami’ yang khusus (awal abad ke-4H
hingga jatuhnya Baghdad tahun 656H); dan yang terakhir al-Syarh, wa al-jam’u
wa takhrij, masa pensyarahan hadis, membuat kitab-kitab takhrij,
mengumpulkan hadis-hadis hukum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum (656H
hingga sekarang).[2]
Salah satu fase perkembangan hadis yang menarik adalah pada masa
pematerian dan penyelidikan hadis. Periode ini terjadi pada masa Khulafa’
Rasyidin, sekitar tahun 11H hingga 40H. Masa
ini ditandai dengan adanya upaya sahabat besar dalam menerima dan meriwayatkan
hadis. Hanya diterima dan disampaikan oleh periwayat tertentu saja. Oleh karena
itu, nampak bahwa pada masa ini hadis tidak banyak dimaterikan karena adanya
kehati-hatian sahabat dalam menerima dan meriwayatkan hadis.[3]
Periwayatan hadits pada permulaan masa sahabat masih sangat
terbatas. Perkembangan hadits dan memperbanyak riwayatnya terjadi setelah
kekhalifan Abu Bakar dan Umar, yaitu masa Usman dan Ali.[4]Dalam
hal ini terdapat sederet kejadian yang membedakannya dengan masa kekhalifan
sebelumnya, pada masa kekhalifahan Usman perpecahan dalam diri umat Islam mulai
tampak. Di awali dengan tuduhan korupsi kolusi dan nepotisme yang digulirkan
oleh golongan yang kontra dengan kepemimpinan Usman. Perpecahan ini lebih
didasarkan pada konflik yang terjadi di dalam dunia politik pada waktu itu. Perpecahan
pada masa kekhalifahan Usman mencapai klimaks ketika terjadi peristiwa yang
biasa dikenal dengan Fitnatul Kubro yaitu terbunuhnya beliau pada tahun
35H oleh para pemberontak.
Penulis dalam hal ini tertarik untuk membahas perkembangan hadits
pada masa pasca terbunuhnya Usman. Sejak adanya peristiwa Fitnatul Kubro perkembangan
hadits mulai terlihat. Penyebaran periwayatan mulai dilakukan. Pada masa ini pintu
perlawatan hadits dibuka, karena dilihat umat mulai memerlukan keberadaan
sahabat. Hal ini disebabkan karena sejak adanya peristiwa terbunuhnya Usman
rentan adanya pemalsuan hadis. Selain itu, para sahabat sejak terjadinya
peristiwa Fitnatul Kubro, apabila mereka mendengar hadis, mereka akan
menanyakan dari mana hadis tersebut diperoleh. Sejak peristiwa ini tradisi
sanad dalam periwayatan hadis mulai dikenal. Hal ini pula yang kemudian membuat
penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai bagaimana perkembangan
hadis pasca terbunuhnya khalifah Usman bin Affan.
Perhatian umat Islam terhadap hadis pada saat itu serta bagaimana
sosok khalifah Usman yang dikenal memiliki kepribadian kalemdibanding
khalifah lainnya yang mendapat predikat Khulafa’ Rasyidin sehingga menjadi
salah satu faktor yang mempengaruhi gaya kepemimpinannya membuat penulis tertarik
untuk mengakjinya lebih dalam dengan menggunakan kacamata sejarah dan kondisi
sosial-politik pada saat itu. Penggunaan pendekatan historis dan sosial-politik
dalam melakukan sebuah studi akan membuat proses pengkajian menjadi lebih
terarah dan sistematis. Dengan demikian, pembahasan kami dalam tulisan ini
melingkupi bagaimana perhatian masayarakat Islam terhadap hadis pada masa awal
perkembangan hadis, kemudian bagaimana sosok Usman bin Affan dimata Rasulullah
dan umat Islam pada masa itu, serta bagaimana dampak kekhalifahan beliau
terhadap perkembangan hadis.
B.
Perhatian Umat
Islam Terhadap Hadis pada Masa Permulaan Islam
Pada masa permulaan Islam, umat Islam disibukkan dengan kegiatan
yang mengarah pada perbaikan struktur masyarakat dan sistem pemerintahan. Rasulullah
SAW sebagai seorang rasul sekaligus kepala pemerintahan secara langsung
memimpin umatnya bersama-bersama membangun sebuah pemerintahan yang demokratis.
Hadis sebagai sumber pembentukan syariat kedua setelah al-Qur’an,
merupakan sesuatu yang sangat urgen. Ketika wahyu turun, Nabi menyampaikannya
kepada sahabat, menjelaskan maksudnya dan kemudian diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Sehingga ketika Rasulullah masih hidup, beliau lah yang menjadi
rujukan utama dalam mengatasi segala persoalan umat. Dapat dilihat bagaimana
hadis sangat mempengaruhi pola hidup para sahabat. Setiap ranah kehidupan
mereka di dalamnya selalu terkandung butiran-butiran sunnah yang menjadi
pegangan hidup mereka. Semangat Islam pada saat itu tergambar dalam penerapan
al-Qur’an dan Hadis secara praktis.
Di saat Rasulullah kembali menghadap sang pencipta, al-Qur’an telah
dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Semua ayat-ayat al-Qur’an pun
telah ditulis, hanya saja belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf.[5]
Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya kurang mendapat perhatian seperti
halnya al-Qur’an. Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak
resmi, karena Rasulullah tidak memerintahkannya sebagaimana beliau
memerintahkan mereka untuk menulis al-Qur’an.
Para sahabat dalam menerima hadis Nabi saw. berpegang kepada kekuatan hafalannya,
yakni menerima dengan jalan hafalan. Sebab itu, kebanyakan sahabat menerima
hadis melalui pendengaran mereka yang dilakukan dengan penuh kehati-hatian.
Kemudian terekamlah lafal dan makna hadis tersebut dalam sanubari mereka.
Mereka dapat melihat langsung apa yang dikerjakan oleh Nabi saw., atau
mendengar pula dari orang yang mendengarnya sendiri dari nabi, karena tidak
semua dari mereka dapat menghadiri majelis Nabi setiap waktu.
Kemudian para sahabat menghapal setiap apa yang diperoleh dari
sabda-sabdanya dan berupaya mengingat apa yang pernah Nabi lakukan, untuk
selanjutnya disampaikan kepada sahabat yang lainnya juga melalui hapalan. Dalam
hal ini dapat diketahui bahwa perkembangan hadis pada waktu itu lebih
melibatkan tradisi lisan. Sahabat bertindak sebagai penyambung lidah Rasulullah
saw. Seorang penulis dunia Doktor Maurice Bucaille sebagaimana yang dikutip
dalam oleh Salim Ali Al-Bahanasawi dalam bukunya yang berjudul As-Sunnah
Al-Muftara ‘Alaiha mengatakan:
“Sumber yang kedua
ini (hadis) berpegang pada riwayat secara lisan. Untuk itu orang-orang yang
bergegas mengumpulkan ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Nabi selalu
mengadakan penelitian-penelitian yang ditandai dengan penuh kesulitan”[6]
Akan tetapi, beberapa orang dari sahabat memiliki catatan hadis
yang mereka dapatkan langsung dari Nabi melalui beberapa cara. Di antara mereka
ada yang mengikuti majelis-majelis yang diadakan oleh Nabi. Sebagian sahabat
ada juga yang meluangkan waktunya untuk selalu bersama Nabi agar bisa mengetahui
segala apa yang diucapkan dan dilakukan oleh Nabi saw. Abdullah bin Amr bin
‘Ash misalnya, ia adalah salah seorang sahabat yang memiliki perhatian yang
lebih terhadap hadis. Dia bukan hanya mendengarkan, tetapi juga menuliskan
hadis-hadis dari Nabi saw. Naskah yang dimilikinya dinamakan al-shahifat
al-shadiqah. Menurut sebuah sumber, hadis yang diriwayatkan melaluinya
berjumlah 700 hadis.[7]
Rasulullah pun secara khusus memberi izin kepadanya untuk menuliskan hadis dan
ia juga merupakan orang yang pertama kali menuliskan hadis di hadapan beliau.
Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Amr ini ditegur
oleh sebagian sahabat. Mereka mengutarakan keberatannya sembari berkat
kepadanya, “ Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi saw., padahal
beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang
tidak dijadikan syariat umum.” Ketika
mendengar hal itu Abdullah mengadukannya kepada Nabi, apakah boleh bagi dirinya
untuk menulis hadis-hadis yang didengarnya dari beliau. Nabi saw. menjawab:
اكتب عني, فوالذي نفسي بيده ما خرج من فمي الا الحق.
”Tulislah apa yang engkau dengar dariku, demi tuhan yang jiwaku ada
di tangan-Nya, tidak keluar dari mulutku selain kebenaran.”[8]
Apa yang dilakukan oleh Abdullah bin ‘Ash merupakan salah satu wujud dari perhatian sahabat terhadap hadis. Selain
itu, masih terdapat beberapa sahabat yang memiliki perhatian-perhatian yang
tinggi terhadap keberadaan hadis. Ali bin Abi Thalib, Sumrah bin Jundab,
Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdullah serta Abdullah bin Abi Aufa’ merupakan
deretan sahabat yang memiliki catatan-catatan hadis berupa sahifah. Walaupun nama-nama
sahabat Nabi tersebutberjumlah mencakup seluruh nama sahabat pemilik catatan
hadis pada zaman Nabi, tetapi dapat dinyatakan bahwa jumlah sahabat yang tidak
memiliki catatan jauh lebih banyak.[9]
Hal ini logis, karena pada saat itu jumlah sahabat yang dapat menulis sangat
sedikit. Apalagi di antara sahabat yang telah pandai menulis, misalnya Abu
Bakar, Umar, serta Usman, mereka juga tidak membuat catatan hadis, meskipun
mereka sebelumnya memilikinya. Mereka melakukan demikian karena faktor-faktor
tertentu. Abu Bakar misalnya, ia khawatir melakukan kekeliruan dalam
meriwyatkan hadis. Selain itu, sahabat yang tergolong dalam al-Muksirun Fii
al-Hadis,[10]sebagian
dari mereka, misalnya Abu Hurairah dan Abu Said Al-Khudry tidak mencatat hadis
yang mereka terima dari Nabi.
Dalam memelihara, mempertahankan dan meneladani as-sunnah para
sahabat rela berjuang mengorbankan waktunya atau bahkan nyawanya. Memanglah
demikian sahabat-sahabat Nabi saw. Mereka mempertahankan hadis, mengarahkan
manusia, menempuh jalan yang lurus, meminta para penguasa dan rakyat tetap
menerapkan hukum-hukum syariat dan tidak merekayasa hukum-hukum Allah tanpa
khawatir dengan berbagai cacian.[11]
C.
Mengenal Sosok
Usman bin Affan
Beliau adalah
‘Utsman bin Affan bin Abil ‘Ash bin Umayyah bin Abdisy-Syams
bin Abdi Manaf. Pada kakeknya, Abdu Manaf, nasabnya bertemu dengan nasab
Rasulullah. Lahir enam tahun setelah tahun gajah. Beriman melalui tangan Abu
Bakr Ash-Shiddiq dan termasuk as-sabiqunal awwalun.
Beliau
dijuluki sebagai Dzun Nurain yang berarti orang yang memiliki dua
cahaya. Julukan ini ia peroleh setelah menikahi dua puteri Rasulullah yaitu
Ruqayyah dan Umi Kultsum. Dari pernikahannya dengan Ruqayyah beliau dianugerahi
seorang putera yang bernama Abdullah. Setelah Ruqayyah wafat beliau menikahi
Umi Kultsum dan kemudian Umi Kultsum juga wafat. Setelah kematian Umi Kultsum
beliau menikahi beberapa wanita yang dari mereka beliau memiliki banyak
keturunan. Ibnu Katsir menyebutkan bahwa ketika terbunuh, beliau memiliki empat
orang istri: Na’ilah, Ramlah, Ummul Banin, dan Fakhitah.
Beliau juga
merupakan salah satu sahabat yang medapatkan predikat ‘asyaratun mubassyaratun
bil jannah.[12]Di
antara ciri-ciri fisiknya adalah tampan wajahnya, lembut kulitnya, lebat
rambutnya dan jenggotnya, berbahu bidang, serta bentuk mulut bagus berwarna
kulit sawo matang.[13]
Sosok sahabat ini memiliki akhlak yang mulia, dermawan, sangat pemalu hingga malaikat pun malu
kepadanya. Demikian Rasulullah menyanjung:
أَلا أَستحي من رجل تسْتحِي منه الْملَائكَةُ؟
“Tidakkah sepatutnya aku
malu kepada seorang (yakni Utsman) yang para malaikat malu kepadanya?”
Usman juga
terkenal dengan kedermawaannya. Sosok yang mulia ini, tidak pernah
berat untuk berinfak di jalan Allah, berapapun besarnya harta yang diinfakkan. Dialah yang membeli Sumur Ar-Rumahdengan
harga sangat mahal sebagai wakaf untuk muslimin di saat mereka kehausan dan
membutuhkan tetes-tetes air. Rasulullah menawarkan jannah bagi siapa yang membelinya. Akhirnya
Utsman pun bersegera meraih janji itu. Beliau juga yang mengeluarkan seribu dinar (emas) guna menyiapkan Jaisyul ‘Usrah,
pasukan perang ke Tabuk, yang berjumlah tidak kurang dari 30.000 pasukan.Selain
itu, Usman merupakan sahabat yang memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya dan
berhijrah dua kali.
Keistimewaan Usman
yang lainnya ditunjukkan dengan sebuah hadis yang menyebutkan bahwa ketika
Rasulullah memanjat gunung uhud bersama Abu Bakar, Umar dan Usman, lalu gunug
tersebut bergetar. Rasulullah pun bersabda: “Tenanglah wahai uhud! Tidaklah
yang berada di atasmu ini kecuali seorang Nabi, Ash-shiddiq, dan dua
orang yang syahid (Umar dan Usman.” Hadis di atas merupakan salah satu kabar
bukti bahwa kelak Usman akan menjadi seorang yang syahid.
Usman bin
Affan juga terkenal dengan kesungguhannya dalam beribadah. Diriwayatkan bahwa
ia pernah melaksanakan sholat dengan membaca seluruh al-Qur’an dalam satu
rakaat di kamar Al-Aswad pada musim haji. Ketekunan beliau dalam menjalankan
ibadah ini juga termaktub dalam al-Qur’an sebagaimana penuturan Ibnu Umar:
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ
آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ
رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ
إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ
(Apakah
kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada
waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada (azab) akhirat dan
mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, "Apakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sebenarnya hanya
orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.
Ibnu Umar mengatakan bahwa yang
dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah Usman bin Affan.
Itulah di
antara keistimewaan beliau. Selain itu, masih terdapat banyak keistimewaan yang
dimiliki oleh sosok sahabat yang mulia ini. Tentang keistimewaan beliau ini banyak
disebutkan di dalam kitab-kitab sejarah Islam, misalnya al-Bidayah wa al-Nihayah
karya ibnu Katsir, Tarikh Khulafa’ karya Al-Suyuti, Tarikh
ar-Rasul wa al-Mulk karya Ibnu Jarir, al-Muntazhim fi Tarikh al-Mulk wa
al-Umam dan kitab-kitab yang lainnya.
Masa
kekhalifahan Usman bin Affan adalah 12 tahun kurang 12 hari (11 tahun 11 bulan
17 hari). Beliau dibaiat pada awal bulan Muharram 24 H. Tentang pembaitan
beliau terdapat banyak versi, tetapi kisah pembaitan Usman yang lengkap itu
disebutkan dalam sebuah hadis yang terdapat dalam kitab shahih al-Bukhari. Ringkasnya
ketika Umar bin Khatab wafat, maka berkumpullah orang-orang yang telah dipilih
olehnya sebelum ia wafat yaitu Ali, Usman, az-Zubair, Thalhah, Sa’ad dan
Abdurrahman. Abdurrahman berkata, “Pilihlah diantara kalian tiga calon!.”
Az-Zubair pun berkata, “ Aku memilih Ali.” Thalhah berkata, “Aku memilih
Usman.” Sa’ad berkata, “Aku memilih Abdurrahman bin Auf.” Abdurrahman bin Auf
berkata, “Siapa diantara kalian berdua yang mau mengundurkan diri dari
pencalonan, maka aku akan menjadikan urusan ini untuknya dan Allah serta Islam
yang akan mengawasinya, hendaklah lihat siapa yang paling utama di antara
kalian?” Ali dan Usman terdiam. Abdurrahman berkata, “Apakah kalian menyerahkan
perkara pemilihan ini kepadaku untuk memilih siapa yang terbaik diantara kalian
berdua?” Mereka menjawab “Ya” Maka Abdurrahman memegang tagan Ali seraya
berkata, Engkau adalah kerabat dekat Rasulullah saw. dan orang pertama yang masuk
Islam dan itu sudah engkau ketahui. Demi Allah jika engkau yang diangkat, maka
dengarlah dan taatilah dia.” Kemudian ia mendekati Usman dan mengucapkan dengan
ucapan yang sama. Setelah mereka berdua berjanji, Abdurrahman berkata, “Angkat
tanganmu wahai Usman!” Lantas ia membaiatnya kemudian disusul oleh Ali dan
semua orang yang berada ditempat itu.[14]
D. Sepak
Terjang Kekhalifahan Usman Bin Affan
Usman bin
Affan dalam memegang tumpu kekhalifahan memiliki kontribusi yang besar terhadap
perkembangan Islam. Hal ini terbukti ketika menjabat sebagai khalifah, beliau
berhasil melakukan ekspansi ke berbagai penjuru negeri. Beliau juga mengirim jays
al-muslimin yang terbentuk dalam kemiliteran pada masa itu untuk menaklukan
berbagai wilayah negeri yang berada diluar tanah Hijaz. Pada masa kekhalifahannya,
umat Islam berhasil menaklukan daerah Syam, Maghrib, Khurasan, Andalusia dan
negara-negara yang berada di wilayah timur.[15]
Para ulama’
menyebutkan bahwa diantara keberhasilan terbesar yang dapat dicapai oleh
Khalifah Usman yaitu pengkodifikasian al-Qur’an secara komplit. Penyatuan
dokumen ayat-ayat al-Qur’an dalam sebuah bentuk mushaf ini bertujuan untuk
menyatukan bacaan umat islam pada satu qiraat. Munculnya ide ini
dilatarbelakangi oleh kekhawatiran sahabat Hudzaifah yang melihat keadaan umat
islam saling menyalahkan bacaan satu dengan yang lainnya. Kemudian ia
melaporkannya kepada khalifah, “ Ya Amirul Mukminin! Benahilah umat ini sebelum
mereka berselisih mengenai kitab suci mereka, sebagaimana perselisihan yang tejadi
di kalangan orang-orang yahudi dan Nasrani terhadap kitab suci mereka.” Maka
seketika itu Usman langsung mengambil tindakan dengan mengumpulkan para sahabat
yang berkompeten dalam penulisan al-Qur’an. Mereka adalah yang termasuk panitia
penulisan al-Qur’an yang dibentuk oleh Usman pada waktu itu. Sahabat yang
menuliskannya adalah Zaid bin Tsabit dengan didiktekan oleh Sa’id bin al’Ash
al-Umawi dengan disaksikan oleh Abdullah bin az-Zubair dan Abdurrahman bin
Harits bin Hisyam. Beliau juga memerintahkan, jika mereka berselisih pendapat
maka tulislah yang sesuai dengan bahasa arab Quraisy.
Dalam
menampung aspirasi umat Islam dan
sebagai wujud usaha pengimplementasian islam yang demokratis, tidak jarang
khalifah Usman mencopot jabatan seorang gubernur yang sedang menjabat, kemudian digantikan dengan figur yang lebih
baik. Sa’ad bin Abi Waqash seorang sahabat yang menjadi gubernur kufah pada
saat itu, ia digantikan dengan al-Walid bin Uqbah. Sa’ad terlibat perselisihan
dengan Ibnu Mas’ud tentang permasalahan yang berkaitan dengan keuangan baitul
maal, sehingga mendorong khalifah Usman untuk melakukan tindakan solutif
yaitu memakzulkannya.. Apa yang dilakukan khalifah Usman ini,
semata-mata sebagai bentuk kearifan beliau sebagai pemimpin yang berusaha
mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Usman bin
Affan dikenal sebagai sosok pemimpin yang familier dan humanis. Namun, gaya
kepemimipinan yang familier ini berdampak kurang baik, yaitu munculnya
nepotisme dalam pemerintahannya, sebab Usman kemudian banyak mengangkat
pejabat-pejabat negara dari kerabatnya sendiri dan kurang mengakomodir pejabat
di luar kerabat beliau. Hal inilah yang memicu timbulnya konflik-konflik serta
kerusuhan dalam pergolakan pemerintahannya.[16]
E. Keteguhan
Usman bin Affan Dalam Memegang Hadis
Khalifah
Usman, seperti yang telah disinggung sebelumnya merupakan sosok yang mulia.
Kemuliaan beliau sampai pada sanjungan Rasullah kepadanya. Rasulullah dalam
hadisnya tak jarang menyebut kemuliaan sosok Usman bin Affan. Sampai pada hal kesyahidan
beliau di tangan para bughat, Rasulullah pun juga mengabarkannya dalam
sebuah hadis. Imam Ahmad berkata, Aswad bin Amir telah mengatakan kepada kami
dan ia berkata, Sinan bin Harun telah mengatakan kepada kami dan ia berkata,
Kulaib bin Wa’il telah mengatakan kepada kami dari Ibnu Umar ia berkata,
“Rasulullah saw. pernah menceritakan tentang fitnah yang akan terjadi dan
beliau bersabda,
يقتل هذا المقنع يومئذ ظلما
Orang yang menutupi wajahnya ini, akan terbunuh
secara dhalim pada waktu itu.
Lalu aku melihat orang tersebut,
ternyata ia adalah Usman bin Affan.”[17]
Dalam
kesempatan yang lain, Rasulullah pernah memberikan wasiat kepada Usman agar
kelak ketika dirinya menjadi khalifah, janganlah ia mundur dari jabatannya
walaupun segolongan orang munafik ingin menjatuhkan kekhalifahannya.
ياعثمان, ان الله عسى ان يلبسك قميصا فاءن ارادك المنافقون على خلعه فلا
تلخعه حتى تلقاني, ثلاثا
"Wahai
Usman, mudah-mudahan Allah akan menyandangkan untukmu sebuah pakaian, dan jika
orang-orang munafik ingin engkau menanggalkan pakaian tersebut, maka jangan
engkau lepaskan, hingga engkau menemuiku (meninggal). (Beliau bersabda
demikian) tiga kali.”[18]
Demikan
Rasulullah mengabarkan tentang perihal kesyahidan beliau. Sang khalifah pun
memegang apa yang diwasiatkan Rasulullah kepadanya hingga akhir hayatnya.
Beliau senantiasa berpegang teguh terhadap sunnah Rasul, sehingga akhirnya
beliau memang terbunuh ditangan golongan orang-orang munafik. Peran Khalifah
Usman dalam menjaga hadis juga sangat signifikan. Seperti Abu bakar dan Umar,
secara umum kebijakan Usman tentang periwayatan hadis tidak jauh berbeda dengan
mereka. Hanya saja langkah Usman tidaklah setegas langkah Umar bin Khattab.
Dalam suatu
kesempatan khutbah, Usman meminta kepada para sahabat agar tidak banyak
meriwayatkan hadis yang tidak pernah didengar pada masa Abu Bakar dan Umar.
Pernyataan ini mengindikasikan sikap kehati-hatian Usman dalam menjaga
kemurnian hadis. Namun, dapat dikatakan bahwa zaman kekhalifahan Usman bin
Affan kegiatan umat islam dalam periwayatan hadis telah lebih banyak bila
dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada
masa Umar bin khattab. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa Usman
dalam khutbahnya menyeru agar umat islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadis.
Akan tetapi, pengaruhnya terhadap para periwayat hadis pada saat itu tidak
terlalu besar. Hal ini disebabkan karena selain kepribadian Usman yang tidak
sekeras Umar, juga karena wilayah yang islam yang semakin meluas, sehingga
mengakibatkan sulitnya pengendalian kegiatan periwayatan hadis secara ketat.[19]
Khalifah
Usman, sebagaimana yang telah diketahui, beliau adalah sosok pemimpin yang
familier. Namun dibalik model kepemimpinanya ini mengakibatkan dampak yang
kurang baik terhadap pemerintahannya. Di antara tanda-tandanya adalah tuduhan
adanya “nepotisme” yang terjadi pada tubuh pemerintahnnya. Padahal jika
diteliti secara cermat dengan mengguanakan data kualitatif, maka dapat
diketahui bahwa isu nepotisme tersebut hanyalah merupakan trik-trik yang
digulirkan para provkator yang mengingkari pemerintahan Usman bin Affan. Mereka
menghalalkan segala cara untuk melepaskan baju kepemimpinan Usman bin Affan.
Klimaks dari usaha mereka adalah peristiwa terbunuhnya Usman bin Affan.
Sebagaimana
yang telah disinggung di muka, Rasulullah jauh-jauh hari telah mewasiatkan
kepada Usman tentang akan terjadinya fitnah yang menyebabkan dirinya terbunuh.
Beliau juga mengisyaratkannya kepada Usman agar tidak mengundurkan diri dari
jabatan kekhalifahannya, meskipun ia diminta untuk melepaskan jabatan tersebut.
Usman pun memegang erat apa yang disabdakan Rasulullah, hingga akhirnya beliau
terbunuh.
Peristiwa fitnatul
Kubro diawali dengan masuk islamnya orang-orang persia (awalnya beragama
Majusi) dan sebagian orang Yahudi. Orang yang menjadi pentolan dari mereka
adalah Abdullah bin Saba’ atau Ibnu As-Sauda’, seorang Yahudi yang menampakkan
keislaman di masa ‘Utsman bin ‘Affan. Dia muncul di tengah-tengah muslimin
dengan membawa makar yang sangat membahayakan, menebar bara fitnah untuk
memecah-belah barisan kaum muslimin. Pada hakikatnya mereka semua adalah
orang-orang zindiq yang menampilkan keislamannya dan menyembunyikan kekufuran
di dalam hatinya. Mereka ingin menruntuhkan Islam dengan memasang berbagai tipu
daya dan taktik untuk mengobarkan api fitnah ditengah-tengah umat Islam.
Tidak mudah
memang bagi Ibnu Saba’ menyalakan api di tengah kejayaan Islam, di tengah
kekuasaan Islam yang telah meluas ke seluruh penjuru timur dan barat, di saat
muslimin memiliki kewibawaan di mata musuh-musuhnya kala itu. Ibnu saba’ pun
memulai tipu dayanya dengan menanamkan kebencian pada khalifah ‘Utsman
bin Affan di tengah kaum yang dungu lagi
bodoh. Tujuannya adalah untuk memudarkan kemulian-kemuliaan ‘Utsman
bin Affan di hadapan manusia dan
menjatuhkan kewibawaan khalifah.
Kaki Ibnu
Sauda’ yang penuh kebengisan dan kedengkian pada syariat Allah menjelajah negeri. Fitnahnya dia mulai dari
Hijaz; Makkah, Madinah, Thaif, lalu Bashrah, lalu Kufah. Kemudian masuklah ia
ke wilayah Damaskus (Syam). Usaha demi usaha dia tempuh di sana, namun impian
belum mampu ia wujudkan. Dia tidak kuasa menyalakan api kebencian terhadap
khalifah ‘Utsman di tengah-tengah kaum
muslimin di negeri-negeri tersebut, hingga penduduk Syam mengusirnya.
Dengan segala
kebusukan, pergilah Ibnu Saba’ ke Mesir. Di sanalah dia dapatkan tempat
berdiam. Di tempat baru inilah dia dapatkan lahan subur untuk membangun makar
besarnya, menggulingkan khalifah Utsman
dan merusak agama Islam. Mulai Ibnu Saba’ leluasa menghubungi munafiqin dan
orang-orang yang berpenyakit, hingga terkumpul massa dari penduduk Mesir dan
Irak guna membantu makarnya. Bersama pembantu-pembantunya, dia sebarkan
keyakinan-keyakinan menyimpang serta tuduhan-tuduhan dusta atas khalifah di
tengah-tengah kaum yang bodoh lagi menyimpan kemunafikan. Hingga suatu saat
nanti, terwujudlah cita-citanya menumpahkan darah khalifah dan
memecah-belah barisan muslimin.
Akhirnya
dengan segala tipu dayanya Ibnu saba’ pun berhasil mengumpulkan masa besar dari
penduduk Mesir dan Irak. Mereka terbawa
arus syubhat Ibnu Saba’. Mereka menuju Madinah dalam keadaan membenci khalifah,
bahkan bertekad menggulingkan kekhilafahannya karena menurut mereka khalifah
telah berkhianat.
Akhirnya,
melalui usaha mereka yang panjang, pagi, Jum’at 12 Dzulhijjah, 35 H, mereka
melakukan pengepungan.[21]
Pagi itu Utsman berada di rumah bersama sejumlah sahabat yang terus bersikukuh
hendak membela beliau dari kezaliman bughat. Di antara mereka
adalah Al-Hasan bin ‘Ali, ‘Abdullah bin Umar, Abdullah bin Az-Zubair, Abdullah
bin ‘Amir bin Rabi’ah, dan sejumlah sahabat lainnya.Dengan sangat,
Utsman bin ‘Affan meminta mereka untuk
keluar dari rumah, menjauhkan diri dari fitnah. Amirul Mukminin melarang para
sahabat melakukan pembelaan dengan peperangan. Beliau tidak ingin terjadi
pertumpahan darah di tengah-tengah kaum muslimin hanya dengan sebab beliau.
Beliau tidak ingin ada sahabat-sahabat lain terbunuh dalam fitnah ini.[22]
Setelah
permintaan Utsman yang sangat kepada
para sahabat, akhirnya mereka meninggalkan rumah Amirul Mukminin hingga tidak
ada yang tersisa kecuali keluarga Utsman termasuk istri beliau, Na’ilah bintu
Furafishah. Utsman duduk bersimpuh di
hadapan mushaf. Beliau membacanya dalam
keadaan berpuasa di hari itu. Beliau perintahkan untuk membuka pintu rumah dengan
harapan para pengepung tidak berbuat sekehendak hati mereka ketika menyaksikan
beliau beribadah kepada Allah.
Tetapi mereka
ternyata orang yang telah keras hatinya. Dalam suasana pengepungan dan
kekacauan, masuklah seseorang hendak membunuh khalifah. Utsman pun berkata
mengingatkan: “Wahai fulan, di antara aku dan dirimu ada Kitabullah!” Diapun
pergi meninggalkan Utsman, hingga datang orang lain dari bani Sadus. Dengan
penuh keberingasan, dia cekik leher khalifah yang telah rapuh hingga sesak dada
beliau dan terengah-engah nafas beliau, lalu dia tebaskan pedang ke arah Utsman
bin ‘Affan . Amirul Mukminin menlindungi diri dari pedang dengan tangannya yang
mulia, hingga terputus bercucuran darah. Saat itu Utsman berkata:
أَما والله، إِنَّها لَأَول كف خطّت الْمفصَّل
“Demi Allah, tangan (yang
kau potong ini) adalah tangan pertama yang mencatat surat-surat mufashshal.”[23]
Lalu masuklah
orang lain dengan menghunus sebilah pedang, akan tetapi ia dihadang oleh istri
Usman, Nailah binti Farfishah, kemudian Nailah memegang pedang tersebut dengan
tangannya, orang tersebut menarik pedangnya, sehingga jari-jari Nailah
terputus. Melihat hal ini, Nailah kemudian menjatuhkan tubuhnya di atas tubuh
Usman untuk melindunginya dari hunusan pedang. Akan tetapi salah seorang dari
mereka menusukkan pedangnya dari bawah tubuh Nailah, tepat mengenai perut
Usman, kemudian mereka menekannya hingga tembus sampai ke punggung Usman.
Akhirnya Usman pun wafat di tangan para pemberontak-pemberontak tersebut.[24]
G. Reformasi Hadis Pasca Terbunuhnya Usman
Setelah
terjadinya peristiwa Fitnatul Kubro, kondisi umat Islam tidak lagi
beraturan. Mereka kehilangan arah dan tidak mempunyai seorang pemimpin. Pada
masa ini umat Islam mengalami Vacum Of Power, tidak adanya sosok
khalifah yang memimpin membuat kondisi umat Islam menjadi lemah, kosongnya
kekuatan, meskipun hanya sementara. Kosongnya kekuatan umat Islam ini
dimanfaatkan oleh ahli bid’ah untuk menyerang akidah Islam. Mereka bermain di
air keruh dengan mengusung bad purpose untuk menjadikan umat Islam
bercerai-berai.
Eksistensi
hadis pasca terbunuhnya Usman memiliki gaya yang berbeda. Hadis tampil dengan wajah
yang baru. Di sinilah para sahabat mulai menggunakan sanad pada setiap
periwayatan hadis. Sebelumnya, para sahabat ketika meriwayatkan hadis, mereka
secara langsung menyampaikannya kepada sahabat yang lainnya Hal ini karena para
sahabat yang meriwayatkan hadits Nabi saw. adalah orang-orang yang adil dan
tepercaya. Mereka adalah pribadi-pribadi yang senantiasa jujur dalam penukilan
dan tidak pernah berdusta.Tidak seorang pun dari mereka yang tercela dan lemah.
Kalau di antara mereka ada yang tercela, lemah, atau tidak jujur, tentu
beliau telah mengecualikannya dengan
bersabda, “Hendaknya si fulan dan si fulan di antara kalian yang menyampaikan
kepada yang tidak hadir.” Tatkala beliau menyebutkannya secara global dalam
perintah menyampaikan agama, ini menunjukkan bahwa mereka semuanya adil.
Setelah
peristiwa terbunuhnya Usman para sahabat apabila mendengar Hadis mereka selalu
bertanya, dari manakah hadis itu diperoleh? Jika mereka mendapat hadis dari
orang ahlussunnah, hadis itu pun mereka terima. Akan tetapi, jika hadis
diperoleh dari ahlubid’ah maka hadis itu pun mereka tolak.Hal ini
seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Sirin dalam muqaddimah Shahih Muslim:
“Dahulu mereka tidak pernah
bertanya tentang sanad. Namun, tatkala telah terjadi fitnah mereka berkata,
“Sebutkan nama perawi-perawi kalian!” Kemudian dilihat kepada Ahlus Sunnah maka
diambil haditsnya, dan dilihat kepada ahli bid’ah maka tidak diambil
haditsnya.”[25]
Adanya sanad
inilah yang menjadi main point adanya reformasi pada hadis.Pada saat itu
eksistensi sanad sangatlah dibutuhkan. Karena tanpa adanya sanad seorang akan
mengatakan apa saja dengan menisbahkannya kepada Nabi SAW. Hal ini sesuai
dengan ungkapan yang telah ada:
الإسناد من الدين ولولا الإسناد لقال من شاء ما شاء
Sistem sanad itu termasuk
bagian dari agama Islam, sebab seandainya tidak ada sanad seorang akan
mengatakan apa saja yaingin mereka katakan.
Hal tersebut
mengisyaratkan bahwa sejak terbunuhnya Usman bin Affan sebagai Khulafa’
Rasyidin, pemalsuan hadis mulai dilakukan oleh kelompok-kelompok penyebar
bid’ah, yaitu orang-orang yang tidak mengikuti tradisi Nabi saw. dan para
sahabat. Namun, perlu diketahui bahwa para pembuat hadis palsu bukanlah berasal
dari orang Islam saja, akan tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non-Islam.
Golongan non-Islam membuat hadis palsu, karena mereka memiliki motivasi untuk
meruntuhkan Islam dari dalam. Hal ini jika dilihat dari kaca mata historis akan
terlihat bagaimana orang-orang non-Islam ingin merebut kejayaan yang sedang
dicapai oleh Islam. Pada abad itu orang-orang non-Islam berada pada masa renaissance
(masa kegelapan), sedangkan umat Islam dibawah pimpinan khulafa’
Rasyidin telah melakukan perluasan wilayahnya. Hal ini memicu golongan
non-Islam untuk melakukan serangan terhadap umat Islam.
Sedangkan
pembuat hadis palsu yang berasal dari golongan umat Islam, mereka didorong oleh
berbagai tujuan tertentu.[26]
Diantara mereka ada yang bertujuan untuk mencari rizki ataupun mencari
popularitas. Mereka yang bertujuan seperti ini adalah Abu Sa’id Al-Madaini,
Ibnu Abi Dihyah, dan Hammad al-Nushaibi. Selain itu, sebagian mereka ada yang
menggantungkan tujuan mereka hanya untuk mendapatkan pujian dari penguasa.
Mereka membuat hadis palsu untuk menjilat penguasa mereka. Hal seperti ini
pernah dilakukan oleh Ghiyats bin Ibrahim al-Nakha’i.[27]
Lebih lanjut ditegaskan bahwa berdasarkan data historis, pembuat hadis palsu
ada yang karena sengaja dan ada yang tidak sengaja . Di samping itu, pembuat
hadis palsu ada yang disebabkan karena keyakinannya memang membolehkan
pembuatan hadis palsu dan ada yang karena tidak mengetahui bahwa dirinya telah
membuat hadis palsu.[28]
Hal yang
paling mendasar dan yang menjadi motivasi utama para pembuat hadis palsu adalah
“motivasi politik”. Lebih-lebih sejak terbunhnya Husein bin Ali (61 H),
menyusul timbulnya kelompok-kelompok politik dalam Islam, pemalsuan hadis
dirasa semakin parah.[29]
Karena untuk memperoleh legitimasi, masing-masing kelompok memerlukan dalil
yang mendukung argumen mereka. Apabila mereka tidak menemukan hadis yang mereka
cari, maka mereka akan mengeluarkan sebuah pernyataan yang mereka sandarkan
kepada Nabi saw., padahal Nabi sekalipun tidak pernah mengatakan hal tersebut.
Pertentangan politik yang mereka alami mendorong mereka untuk menghalalkan
segala cara demi mencapai kepuasan hasrat politik kelompok mereka. Sekedar
contoh, berikut ini akan dikemukakan beberapa hadis palsu:
ياعلي ان الله غفر لك ولذريتك ولوالديك و لأهلك ولشيعتك و لمحبى شيعتك
Wahai Ali, sesungguhnya Allah mengampuni kamu,
anak-anakmu, kedua orang tuamu, keluargamu, pengikutmu dan orang yang mencintai
pengikutmu.[30]
Pernyataan
diatas digunakan oleh orang Syi’ah untuk memuliakan Ali bin Abi Thalib,
kemudian mereka menyandarkan perkataan mereka kepada Rasulullah saw. Sedangkan
para pembela Muawiyah pada saat itu juga ikut serta menyuarakan hadis-hadis
palsu untuk membela kelompok mereka, di antaranya adalah:
ان النبي صلى الله عليه وسلم ناول معاوية
سهما وقال : خذ هذا السهم حتى تلقاني به في الجنة
Sesungguhnya Nabi saw. memberikan Muawiyah anak panah kemudian bersabda, “Simpanlah
anak panah ini, hingga kau menemuiku dengan itu di surga.”[31]
Demikianlah munculnya hadis palsu di kalangan umat
Islam. Mereka terus beradu argumen untuk mendapatkan legitimasi dengan
bantuan hadis palsu. Hal yang perlu diketahui bahwa jumlah hadis palsu tidaklah
sedikit. Sejak khalifah Usman terbunuh, ahli bid’ah senantiasa membuat hadis
palsu untuk memenuhi tujuan mereka. Para ulama’ hadis pun berusaha membendung arus bertambahnya jumlah
hadis palsu. Mereka mulai menyusun berbagai kaedah penelitian hadis. Melalui usaha ini, mucullah berbagai ilmu
hadis, di antaranya yaitu: ‘ilm rijal al-hadis dan ‘ilm al-jarh wa
al-ta’dil. Dengan adanya ilmu tersebut, maka hadis-hadis yang telah
berkembang di masyarakat serta hadis-hadis yang ada dalam kitab-kitab dapat
diteliti, kemudian diketahui keautentikannya. Adanya ilmu-ilmu tersebut telah
mebuat ulama ahli hadis berhasil menghimpun hadis-hadis palsu dalam kitab-kitab
khusus. Di antara kitab-kitab yang di dalamnya menghimpun hadis-hadis palsu
adalah Tadzkirah al-Maudlu’at karya Abu al-Fadhl Muhammad ibn Thahir
al-Maqdisy, al-Maudlu’at al-Kubrokarya Abu
al-Faraj Abdurrahman Ibn al-Jauzy, dsb.[32]
H. Simpulan
Dari
pembahasan diatas dapat disimpulkan beberapa hal, pertama, bahwa pada masa
kekhalifahan Usman bin Affan hadis mulai mengalami perkembangan dibandingkan
kekhalifahan sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan gaya kepemimpinannya yang
cenderung “longgar” dalam menetapkan sebuah kebijakan. Kedua, hadis yang
berkembang setelah terbunuhnya khalifah Usman menunjukkan adanya sebuah
“reformasi”. Hal ini karena pada masa setelah terbunuhnya Usman, para sahabat
mulai menggunakan tradisi sanad dalam setiap kegiatan periwayatan hadis.
Ketiga, Peristiwa terbunuhnya khalifah Usman menyebabkan pintu-pintu kedustaan
terbuka dengan lebar, sehingga arus perkembangan hadis palsu hampir tidak
terbendung. Akan tetapi, para ulama ahli hadis kemudian menetapkan
kaedah-kaedah yang digunakan untuk menyelidiki sebuah hadis, sehingga dapat
diketahui kualitasnya. Bersamaan dengan hal ini, muncul berbagai kluster
keilmuan baru dalam bidang hadis. Munculnya ilmu-ilmu tersebut telah membantu
ulama hadis dalam menghimpun berbagai hadis palsu dalam kitab-kitab khusus. Wallahu
a’lam.
Daftar Pustaka
Ahmad, Muhammad, 1998. Ulumul
Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
Al-Bahanasawi, Salim Ali. 2001. As-sunnah Al-Muftara ‘Alaiha, terj.
Abdul Basith Junaidy, Yogyakarta: Ittaqa Press.
Al-Bukhari, Shahih Bukhari,
dalam CD Mausuah Maktabah Syamilah.
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj. Ushul
Al-Hadits. terj. Nur, Qodirun dan Musyafiq, Ahmad. 2013
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj. 1963. Al-Sunnah qabl al Tadwin. al-Sunnah
qabl al-Tadwin. Kairo: Maktabah
Wahbah.
Ash-Shiddiqy, Muhammad
Hasbi.2009. Sejarah dan Pengantar
Ilmu Hadis. Semarang: Pustaka
Rizki Putra.
Hakim, Mohammad Thahir. terj.
Zainal Arifin Zamzam 1984. Sunnah dalam Tantangan Pengingkarnya.
Jakarta: Granada.
Ibnu Katsir, 2012.Al-Bidayah wa al-Nihayah,terj.
Abu Ihsan Al-Itsari. Jakarta: Darul Haq.
Ismail, M. Syuhudi. 1998. Kaedah Kesahihan Sanad
Hadis. Jakarta: Bulan Bintang.
Itr, Nuruddin
Qudsy,
Saifuddin Zuhri. “Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis”. Esensia
Vol. 14 No. 2 Oktober 2013
Saifuddin, 2011.Arus
Tadwin Hadis dan
Historiografi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suryadilaga, M. Alfatih. 2012. Metodologi Syarah
Hadis. Yogyakarta: SUKA-Press.
Yaqub, Ali Mustofa. 2008. Kritk Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ya’la, Abu. “Tragedi
Terbunuhnya Utsman bin Affan”. www.kampungsunnah.org
diakses 15 Desember 2014
Zainuddin, Muhadi dan Mustaqim,
Abdul. 2002. Studi Kepemimpinan Islam. Yogyakarta: Al-Muhsin Press.
[1]
Saifuddin Zuhri Qudsy, “Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis”, Essensia,
Vol. 14, No. 2, hlm. 1
[2]M.Hasbi
ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2009), hlm. 24-25.
[3]M.Alfatih
Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis (Yogyakarta: SUKA-Press, 2012),
hlm. viii
[4]Muhammad
Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar……, hlm. 38
[5] Muhammad
Ahmad, Ululmul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 29
[6]Salim Ali
Al-Bahanasawi, As-sunnah Al-Muftara ‘Alaiha, terj. Abdul Basith Junaidy,
(Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), hlm. 17
[7]
Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011), hlm.128
[8] Fathul
Bari
[9]
M.Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1998), hlm.91
[10] Mereka
adalah golongan sahabat yang banyak meriwayatkan hadis. Di antara mereka adalah
Abu Hurairah, Anas bin Malik, Aisyah R.A.,
[11]
Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2013), hlm.76.
[12] Yaitu
sepuluh orang sahabat yang mendapatkan
berita gembira dari Rasulullah bahwa mereka akan dimasukkan surga. Terdapat
sejumlah hadis yang meriwayatkan tentang hal ini. Diantaranya adalah hadis yang berasal dari Abu Musa
Al-Asy’ari. Lihat Al-Bidayah wa al-Nihayahhlm. 323
[13]Ibnu
Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, terj. Abu Ihsan Al-Itsari, (Jakarta:
Darul Haq, 2012), hlm. 319
[14]Ibnu
Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, ......., hlm. 422
[15]Ibnu
Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, ......., hlm. 426
[16] Muhadi
Zainudin dan Abd. Mustaqim, Studi Kepemimpinan Islam, (Yogyakarta:
Al-Muhsin Press, 2002), hlm. 69
[17] Ibnu
Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, terj. Abu Ihsan Al-Itsari, (Jakarta:
Darul Haq, 2012), hlm.
[18] Ibnu
Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, ........, hlm. 428
[19]
M.Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan, ....... , hlm.43
[20] Penulis
dalam memaparkan bagian ini banyak merujuk dari buku terjemahan kitab al-Bidayah
wa al-Nihayah. Untuk penjelasan yang lebih lengkap lihat al-Bidayah wa
al-Nihayah karya Ibnu Katsir, pada bab yang menjelaskan terbunuhnya
khalifah Usman.
[21] Ibnu
Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, ......., hlm. 440
[22]Ibnu
Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, terj. Abu Ihsan Al-Itsari, (Jakarta:
Darul Haq, 2012), hlm. 435
[23] Abu
Ya’la, “Tragedi Terbunuhnya Usman bin Affan” dalam http://www.kampungsunnah.org diakses
pada tanggal 15 Desember 2014
[24]Abu
Ya’la, “Tragedi Terbunuhnya Usman bin Affan” dalam http://www.kampungsunnah.org diakses
pada tanggal 15 Desember 2014
[25] M.
Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang,
1998), hlm. 50
[26] M.
Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis,......., hlm. 95
[27] Ali
Mustafa Ya’kub, Kritik Hadis,......., hlm. 84
[28] M.
Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis,......., hlm. 97
[29] Ali
Mustafa Ya’kub, Kritik Hadis,......., hlm. 82
[30]
Muhammad Ajaj Al-Khatib, al-Sunnah qabl al-Tadwin (Kairo: Maktabah
Wahbah, 1963), hlm. 199
[31]
Muhammad Ajaj Al-Khatib, al-Sunnah
qabl al-Tadwin,......., hlm. 201.
[32]
Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits, ......., hlm. 372.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar