Senin, 02 Maret 2015

HADIS PASCA TERBUNUHNYA USMAN:
SEBUAH PENDEKATAN SOSIO-HISTORIS
Muhammad Taufikurohman
Abstract
This article explore the development of hadis after the death of caliph Usman bin Affan. There are some differences side of hadis after the third caliph of Khulafaur’ Rasyidin (Usman bin Affan) passed away. Here, I use sosio-historical approach to get a comprehensive understanding on this motion. Style conduction of caliph Usman bin Affan which is different than before (more flexible) influence to the flowering of hadis. Sanad and also some sciences of hadis appear after this event.
Kata kunci: Fitnatul Kubra, Pemalsuan hadis, Tradisi sanad.
A.    Pendahuluan
Hadis sampai ditangan umat islam sekarang ini, memiliki perjalanan sejarah yang panjang. Mulai dari keluarnya hadis dari mulut Rasulullah saw, tingkah laku serta ketetapan beliau yang disampaikan kepada para sahabatnya hingga masa dibukukannya hadis secara serentak pada masa Umar bin Abdul ‘Aziz. Hadis berkembang melalui tradisi lisan para sahabat yang mengandalkan kekuatan daya hafal mereka serta sedikit adanya penulisan. Di awal perkembangan  Islam para sahabat lebih memusatkan perhatiannya terhadap al-Qur’an dari pada hadis. Hal ini juga berkaitan dengan sikap masing-masing sahabat yang berbeda dalam memperhatikan perkembangan hadis.
Secara historis, periodesasi hadis menurut versi Hasbi ash-Shiddiqiey dibagi menjadi tujuh periode.[1] Dimulai dari periode pertama yaituashr wahy wa al-taqwim, masa wahyu dan pembentukan hukum serta dasar-dasarnya dari permulaan nabi menjadi rasul yang menyampaikan risalah yang diterimanya sampai beliau wafat (13 SH-11H); ashr tatsbut wa al-iklal min al-riwayah, masa pembatasan riwayat yaitu pada  masa Khulafa’ Rasyidin (12H-40H); ashr  intisyar riwayat  ila  al-amshar, masa perkembangan riwayat dan perlawatan hadis yang dilakukan oleh sahabat kecil dan tabi’in besar (41H-  akhir  abad  I  H);ashr al-kitabat wa al-tadwin, masa dilakukannya pembukuan hadis (abad ke-2 hingga akhir); ashr  tajrid  wa  altashih  wa  al-tanqih, masa pentashhihan dan penyaringan hadis (awal abad ke-3H hingga akhir); ashr  Tahdzib  wa  al-tartib  wa  al-istidrak  wa  al-jam’u, masa menapis kitab-kitab hadis dan menyusun kitab-kitab jami’ yang khusus (awal abad ke-4H hingga jatuhnya Baghdad tahun 656H); dan yang terakhir al-Syarh, wa al-jam’u wa takhrij, masa pensyarahan hadis, membuat kitab-kitab takhrij, mengumpulkan hadis-hadis hukum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum (656H hingga sekarang).[2]
Salah satu fase perkembangan hadis yang menarik adalah pada masa pematerian dan penyelidikan hadis. Periode ini terjadi pada masa Khulafa’ Rasyidin, sekitar tahun 11H hingga  40H. Masa ini ditandai dengan adanya upaya sahabat besar dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Hanya diterima dan disampaikan oleh periwayat tertentu saja. Oleh karena itu, nampak bahwa pada masa ini hadis tidak banyak dimaterikan karena adanya kehati-hatian sahabat dalam menerima dan meriwayatkan hadis.[3]
Periwayatan hadits pada permulaan masa sahabat masih sangat terbatas. Perkembangan hadits dan memperbanyak riwayatnya terjadi setelah kekhalifan Abu Bakar dan Umar, yaitu masa Usman dan Ali.[4]Dalam hal ini terdapat sederet kejadian yang membedakannya dengan masa kekhalifan sebelumnya, pada masa kekhalifahan Usman perpecahan dalam diri umat Islam mulai tampak. Di awali dengan tuduhan korupsi kolusi dan nepotisme yang digulirkan oleh golongan yang kontra dengan kepemimpinan Usman. Perpecahan ini lebih didasarkan pada konflik yang terjadi di dalam dunia politik pada waktu itu. Perpecahan pada masa kekhalifahan Usman mencapai klimaks ketika terjadi peristiwa yang biasa dikenal dengan Fitnatul Kubro yaitu terbunuhnya beliau pada tahun 35H oleh para pemberontak.
Penulis dalam hal ini tertarik untuk membahas perkembangan hadits pada masa pasca terbunuhnya Usman. Sejak adanya peristiwa Fitnatul Kubro perkembangan hadits mulai terlihat. Penyebaran periwayatan mulai dilakukan. Pada masa ini pintu perlawatan hadits dibuka, karena dilihat umat mulai memerlukan keberadaan sahabat. Hal ini disebabkan karena sejak adanya peristiwa terbunuhnya Usman rentan adanya pemalsuan hadis. Selain itu, para sahabat sejak terjadinya peristiwa Fitnatul Kubro, apabila mereka mendengar hadis, mereka akan menanyakan dari mana hadis tersebut diperoleh. Sejak peristiwa ini tradisi sanad dalam periwayatan hadis mulai dikenal. Hal ini pula yang kemudian membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai bagaimana perkembangan hadis pasca terbunuhnya khalifah Usman bin Affan.
Perhatian umat Islam terhadap hadis pada saat itu serta bagaimana sosok khalifah Usman yang dikenal memiliki kepribadian kalemdibanding khalifah lainnya yang mendapat predikat Khulafa’ Rasyidin sehingga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi gaya kepemimpinannya membuat penulis tertarik untuk mengakjinya lebih dalam dengan menggunakan kacamata sejarah dan kondisi sosial-politik pada saat itu. Penggunaan pendekatan historis dan sosial-politik dalam melakukan sebuah studi akan membuat proses pengkajian menjadi lebih terarah dan sistematis. Dengan demikian, pembahasan kami dalam tulisan ini melingkupi bagaimana perhatian masayarakat Islam terhadap hadis pada masa awal perkembangan hadis, kemudian bagaimana sosok Usman bin Affan dimata Rasulullah dan umat Islam pada masa itu, serta bagaimana dampak kekhalifahan beliau terhadap perkembangan hadis.
B.     Perhatian Umat Islam Terhadap Hadis pada Masa Permulaan Islam
Pada masa permulaan Islam, umat Islam disibukkan dengan kegiatan yang mengarah pada perbaikan struktur masyarakat dan sistem pemerintahan. Rasulullah SAW sebagai seorang rasul sekaligus kepala pemerintahan secara langsung memimpin umatnya bersama-bersama membangun  sebuah pemerintahan yang demokratis.
Hadis sebagai sumber pembentukan syariat kedua setelah al-Qur’an, merupakan sesuatu yang sangat urgen. Ketika wahyu turun, Nabi menyampaikannya kepada sahabat, menjelaskan maksudnya dan kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga ketika Rasulullah masih hidup, beliau lah yang menjadi rujukan utama dalam mengatasi segala persoalan umat. Dapat dilihat bagaimana hadis sangat mempengaruhi pola hidup para sahabat. Setiap ranah kehidupan mereka di dalamnya selalu terkandung butiran-butiran sunnah yang menjadi pegangan hidup mereka. Semangat Islam pada saat itu tergambar dalam penerapan al-Qur’an dan Hadis secara praktis.
Di saat Rasulullah kembali menghadap sang pencipta, al-Qur’an telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Semua ayat-ayat al-Qur’an pun telah ditulis, hanya saja belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf.[5] Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya kurang mendapat perhatian seperti halnya al-Qur’an. Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena Rasulullah tidak memerintahkannya sebagaimana beliau memerintahkan mereka untuk menulis al-Qur’an.
Para sahabat dalam menerima hadis Nabi  saw. berpegang kepada kekuatan hafalannya, yakni menerima dengan jalan hafalan. Sebab itu, kebanyakan sahabat menerima hadis melalui pendengaran mereka yang dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Kemudian terekamlah lafal dan makna hadis tersebut dalam sanubari mereka. Mereka dapat melihat langsung apa yang dikerjakan oleh Nabi saw., atau mendengar pula dari orang yang mendengarnya sendiri dari nabi, karena tidak semua dari mereka dapat menghadiri majelis Nabi setiap waktu.
Kemudian para sahabat menghapal setiap apa yang diperoleh dari sabda-sabdanya dan berupaya mengingat apa yang pernah Nabi lakukan, untuk selanjutnya disampaikan kepada sahabat yang lainnya juga melalui hapalan. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa perkembangan hadis pada waktu itu lebih melibatkan tradisi lisan. Sahabat bertindak sebagai penyambung lidah Rasulullah saw. Seorang penulis dunia Doktor Maurice Bucaille sebagaimana yang dikutip dalam oleh Salim Ali Al-Bahanasawi dalam bukunya yang berjudul As-Sunnah Al-Muftara ‘Alaiha mengatakan:
            “Sumber yang kedua ini (hadis) berpegang pada riwayat secara lisan. Untuk itu orang-orang yang bergegas mengumpulkan ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Nabi selalu mengadakan penelitian-penelitian yang ditandai dengan penuh kesulitan”[6]
Akan tetapi, beberapa orang dari sahabat memiliki catatan hadis yang mereka dapatkan langsung dari Nabi melalui beberapa cara. Di antara mereka ada yang mengikuti majelis-majelis yang diadakan oleh Nabi. Sebagian sahabat ada juga yang meluangkan waktunya untuk selalu bersama Nabi agar bisa mengetahui segala apa yang diucapkan dan dilakukan oleh Nabi saw. Abdullah bin Amr bin ‘Ash misalnya, ia adalah salah seorang sahabat yang memiliki perhatian yang lebih terhadap hadis. Dia bukan hanya mendengarkan, tetapi juga menuliskan hadis-hadis dari Nabi saw. Naskah yang dimilikinya dinamakan al-shahifat al-shadiqah. Menurut sebuah sumber, hadis yang diriwayatkan melaluinya berjumlah 700 hadis.[7] Rasulullah pun secara khusus memberi izin kepadanya untuk menuliskan hadis dan ia juga merupakan orang yang pertama kali menuliskan hadis di hadapan beliau.
Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Amr ini ditegur oleh sebagian sahabat. Mereka mengutarakan keberatannya sembari berkat kepadanya, “ Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi saw., padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syariat umum.”  Ketika mendengar hal itu Abdullah mengadukannya kepada Nabi, apakah boleh bagi dirinya untuk menulis hadis-hadis yang didengarnya dari beliau. Nabi saw. menjawab:
اكتب عني, فوالذي نفسي بيده ما خرج من فمي الا الحق.
”Tulislah apa yang engkau dengar dariku, demi tuhan yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak keluar dari mulutku selain kebenaran.”[8]
Apa yang dilakukan oleh Abdullah bin ‘Ash merupakan salah satu  wujud dari perhatian sahabat terhadap hadis. Selain itu, masih terdapat beberapa sahabat yang memiliki perhatian-perhatian yang tinggi terhadap keberadaan hadis. Ali bin Abi Thalib, Sumrah bin Jundab, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdullah serta Abdullah bin Abi Aufa’ merupakan deretan sahabat yang memiliki catatan-catatan hadis berupa sahifah. Walaupun nama-nama sahabat Nabi tersebutberjumlah mencakup seluruh nama sahabat pemilik catatan hadis pada zaman Nabi, tetapi dapat dinyatakan bahwa jumlah sahabat yang tidak memiliki catatan jauh lebih banyak.[9] Hal ini logis, karena pada saat itu jumlah sahabat yang dapat menulis sangat sedikit. Apalagi di antara sahabat yang telah pandai menulis, misalnya Abu Bakar, Umar, serta Usman, mereka juga tidak membuat catatan hadis, meskipun mereka sebelumnya memilikinya. Mereka melakukan demikian karena faktor-faktor tertentu. Abu Bakar misalnya, ia khawatir melakukan kekeliruan dalam meriwyatkan hadis. Selain itu, sahabat yang tergolong dalam al-Muksirun Fii al-Hadis,[10]sebagian dari mereka, misalnya Abu Hurairah dan Abu Said Al-Khudry tidak mencatat hadis yang mereka terima dari Nabi.
Dalam memelihara, mempertahankan dan meneladani as-sunnah para sahabat rela berjuang mengorbankan waktunya atau bahkan nyawanya. Memanglah demikian sahabat-sahabat Nabi saw. Mereka mempertahankan hadis, mengarahkan manusia, menempuh jalan yang lurus, meminta para penguasa dan rakyat tetap menerapkan hukum-hukum syariat dan tidak merekayasa hukum-hukum Allah tanpa khawatir dengan berbagai cacian.[11]
C.    Mengenal Sosok Usman bin Affan
Beliau adalah ‘Utsman bin Affan bin Abil ‘Ash bin Umayyah bin Abdisy-Syams bin Abdi Manaf. Pada kakeknya, Abdu Manaf, nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah. Lahir enam tahun setelah tahun gajah. Beriman melalui tangan Abu Bakr Ash-Shiddiq dan termasuk as-sabiqunal awwalun.
Beliau dijuluki sebagai Dzun Nurain yang berarti orang yang memiliki dua cahaya. Julukan ini ia peroleh setelah menikahi dua puteri Rasulullah yaitu Ruqayyah dan Umi Kultsum. Dari pernikahannya dengan Ruqayyah beliau dianugerahi seorang putera yang bernama Abdullah. Setelah Ruqayyah wafat beliau menikahi Umi Kultsum dan kemudian Umi Kultsum juga wafat. Setelah kematian Umi Kultsum beliau menikahi beberapa wanita yang dari mereka beliau memiliki banyak keturunan. Ibnu Katsir menyebutkan bahwa ketika terbunuh, beliau memiliki empat orang istri: Na’ilah, Ramlah, Ummul Banin, dan Fakhitah.
Beliau juga merupakan salah satu sahabat yang medapatkan predikat ‘asyaratun mubassyaratun bil jannah.[12]Di antara ciri-ciri fisiknya adalah tampan wajahnya, lembut kulitnya, lebat rambutnya dan jenggotnya, berbahu bidang, serta bentuk mulut bagus berwarna kulit sawo matang.[13] Sosok sahabat ini memiliki akhlak yang mulia, dermawan,  sangat pemalu hingga malaikat pun malu kepadanya. Demikian Rasulullah menyanjung:
أَلا أَستحي من رجل تسْتحِي منه الْملَائكَةُ؟
“Tidakkah sepatutnya aku malu kepada seorang (yakni Utsman) yang para malaikat malu kepadanya?”
Usman  juga terkenal dengan kedermawaannya. Sosok yang mulia ini, tidak pernah berat untuk berinfak di jalan Allah, berapapun besarnya harta yang diinfakkan. Dialah yang membeli Sumur Ar-Rumahdengan harga sangat mahal sebagai wakaf untuk muslimin di saat mereka kehausan dan membutuhkan tetes-tetes air. Rasulullah  menawarkan jannah bagi siapa yang membelinya. Akhirnya Utsman pun bersegera meraih janji itu. Beliau juga yang mengeluarkan seribu dinar (emas) guna menyiapkan Jaisyul ‘Usrah, pasukan perang ke Tabuk, yang berjumlah tidak kurang dari 30.000 pasukan.Selain itu, Usman merupakan sahabat yang memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya dan berhijrah dua kali.
Keistimewaan Usman yang lainnya ditunjukkan dengan sebuah hadis yang menyebutkan bahwa ketika Rasulullah memanjat gunung uhud bersama Abu Bakar, Umar dan Usman, lalu gunug tersebut bergetar. Rasulullah pun bersabda: “Tenanglah wahai uhud! Tidaklah yang berada di atasmu ini kecuali seorang Nabi, Ash-shiddiq, dan dua orang yang syahid (Umar dan Usman.” Hadis di atas merupakan salah satu kabar bukti bahwa kelak Usman akan menjadi seorang yang syahid.
Usman bin Affan juga terkenal dengan kesungguhannya dalam beribadah. Diriwayatkan bahwa ia pernah melaksanakan sholat dengan membaca seluruh al-Qur’an dalam satu rakaat di kamar Al-Aswad pada musim haji. Ketekunan beliau dalam menjalankan ibadah ini juga termaktub dalam al-Qur’an sebagaimana penuturan Ibnu Umar:
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ
            (Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, "Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.
Ibnu Umar mengatakan bahwa yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah Usman bin Affan.
Itulah di antara keistimewaan beliau. Selain itu, masih terdapat banyak keistimewaan yang dimiliki oleh sosok sahabat yang mulia ini. Tentang keistimewaan beliau ini banyak disebutkan di dalam kitab-kitab sejarah Islam, misalnya al-Bidayah wa al-Nihayah karya ibnu Katsir, Tarikh Khulafa’ karya Al-Suyuti, Tarikh ar-Rasul wa al-Mulk karya Ibnu Jarir, al-Muntazhim fi Tarikh al-Mulk wa al-Umam dan kitab-kitab yang lainnya.
Masa kekhalifahan Usman bin Affan adalah 12 tahun kurang 12 hari (11 tahun 11 bulan 17 hari). Beliau dibaiat pada awal bulan Muharram 24 H. Tentang pembaitan beliau terdapat banyak versi, tetapi kisah pembaitan Usman yang lengkap itu disebutkan dalam sebuah hadis yang terdapat dalam kitab shahih al-Bukhari. Ringkasnya ketika Umar bin Khatab wafat, maka berkumpullah orang-orang yang telah dipilih olehnya sebelum ia wafat yaitu Ali, Usman, az-Zubair, Thalhah, Sa’ad dan Abdurrahman. Abdurrahman berkata, “Pilihlah diantara kalian tiga calon!.” Az-Zubair pun berkata, “ Aku memilih Ali.” Thalhah berkata, “Aku memilih Usman.” Sa’ad berkata, “Aku memilih Abdurrahman bin Auf.” Abdurrahman bin Auf berkata, “Siapa diantara kalian berdua yang mau mengundurkan diri dari pencalonan, maka aku akan menjadikan urusan ini untuknya dan Allah serta Islam yang akan mengawasinya, hendaklah lihat siapa yang paling utama di antara kalian?” Ali dan Usman terdiam. Abdurrahman berkata, “Apakah kalian menyerahkan perkara pemilihan ini kepadaku untuk memilih siapa yang terbaik diantara kalian berdua?” Mereka menjawab “Ya” Maka Abdurrahman memegang tagan Ali seraya berkata, Engkau adalah kerabat dekat Rasulullah saw. dan orang pertama yang masuk Islam dan itu sudah engkau ketahui. Demi Allah jika engkau yang diangkat, maka dengarlah dan taatilah dia.” Kemudian ia mendekati Usman dan mengucapkan dengan ucapan yang sama. Setelah mereka berdua berjanji, Abdurrahman berkata, “Angkat tanganmu wahai Usman!” Lantas ia membaiatnya kemudian disusul oleh Ali dan semua orang yang berada ditempat itu.[14]
D.    Sepak Terjang Kekhalifahan Usman Bin Affan
Usman bin Affan dalam memegang tumpu kekhalifahan memiliki kontribusi yang besar terhadap perkembangan Islam. Hal ini terbukti ketika menjabat sebagai khalifah, beliau berhasil melakukan ekspansi ke berbagai penjuru negeri. Beliau juga mengirim jays al-muslimin yang terbentuk dalam kemiliteran pada masa itu untuk menaklukan berbagai wilayah negeri yang berada diluar tanah Hijaz. Pada masa kekhalifahannya, umat Islam berhasil menaklukan daerah Syam, Maghrib, Khurasan, Andalusia dan negara-negara yang berada di wilayah timur.[15]
Para ulama’ menyebutkan bahwa diantara keberhasilan terbesar yang dapat dicapai oleh Khalifah Usman yaitu pengkodifikasian al-Qur’an secara komplit. Penyatuan dokumen ayat-ayat al-Qur’an dalam sebuah bentuk mushaf ini bertujuan untuk menyatukan bacaan umat islam pada satu qiraat. Munculnya ide ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran sahabat Hudzaifah yang melihat keadaan umat islam saling menyalahkan bacaan satu dengan yang lainnya. Kemudian ia melaporkannya kepada khalifah, “ Ya Amirul Mukminin! Benahilah umat ini sebelum mereka berselisih mengenai kitab suci mereka, sebagaimana perselisihan yang tejadi di kalangan orang-orang yahudi dan Nasrani terhadap kitab suci mereka.” Maka seketika itu Usman langsung mengambil tindakan dengan mengumpulkan para sahabat yang berkompeten dalam penulisan al-Qur’an. Mereka adalah yang termasuk panitia penulisan al-Qur’an yang dibentuk oleh Usman pada waktu itu. Sahabat yang menuliskannya adalah Zaid bin Tsabit dengan didiktekan oleh Sa’id bin al’Ash al-Umawi dengan disaksikan oleh Abdullah bin az-Zubair dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam. Beliau juga memerintahkan, jika mereka berselisih pendapat maka tulislah yang sesuai dengan bahasa arab Quraisy.
Dalam menampung aspirasi  umat Islam dan sebagai wujud usaha pengimplementasian islam yang demokratis, tidak jarang khalifah Usman mencopot jabatan seorang gubernur yang sedang menjabat,  kemudian digantikan dengan figur yang lebih baik. Sa’ad bin Abi Waqash seorang sahabat yang menjadi gubernur kufah pada saat itu, ia digantikan dengan al-Walid bin Uqbah. Sa’ad terlibat perselisihan dengan Ibnu Mas’ud tentang permasalahan yang berkaitan dengan keuangan baitul maal, sehingga mendorong khalifah Usman untuk melakukan tindakan solutif yaitu memakzulkannya.. Apa yang dilakukan khalifah Usman ini, semata-mata sebagai bentuk kearifan beliau sebagai pemimpin yang berusaha mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Usman bin Affan dikenal sebagai sosok pemimpin yang familier dan humanis. Namun, gaya kepemimipinan yang familier ini berdampak kurang baik, yaitu munculnya nepotisme dalam pemerintahannya, sebab Usman kemudian banyak mengangkat pejabat-pejabat negara dari kerabatnya sendiri dan kurang mengakomodir pejabat di luar kerabat beliau. Hal inilah yang memicu timbulnya konflik-konflik serta kerusuhan dalam pergolakan pemerintahannya.[16]
E.     Keteguhan Usman bin Affan Dalam Memegang Hadis
Khalifah Usman, seperti yang telah disinggung sebelumnya merupakan sosok yang mulia. Kemuliaan beliau sampai pada sanjungan Rasullah kepadanya. Rasulullah dalam hadisnya tak jarang menyebut kemuliaan sosok Usman bin Affan. Sampai pada hal kesyahidan beliau di tangan para bughat, Rasulullah pun juga mengabarkannya dalam sebuah hadis. Imam Ahmad berkata, Aswad bin Amir telah mengatakan kepada kami dan ia berkata, Sinan bin Harun telah mengatakan kepada kami dan ia berkata, Kulaib bin Wa’il telah mengatakan kepada kami dari Ibnu Umar ia berkata, “Rasulullah saw. pernah menceritakan tentang fitnah yang akan terjadi dan beliau bersabda,
يقتل هذا المقنع يومئذ ظلما
Orang yang menutupi wajahnya ini, akan terbunuh secara dhalim pada waktu itu.
Lalu aku melihat orang tersebut, ternyata ia adalah Usman bin Affan.”[17]
Dalam kesempatan yang lain, Rasulullah pernah memberikan wasiat kepada Usman agar kelak ketika dirinya menjadi khalifah, janganlah ia mundur dari jabatannya walaupun segolongan orang munafik ingin menjatuhkan kekhalifahannya.
ياعثمان, ان الله عسى ان يلبسك قميصا فاءن ارادك المنافقون على خلعه فلا تلخعه حتى تلقاني, ثلاثا
"Wahai Usman, mudah-mudahan Allah akan menyandangkan untukmu sebuah pakaian, dan jika orang-orang munafik ingin engkau menanggalkan pakaian tersebut, maka jangan engkau lepaskan, hingga engkau menemuiku (meninggal). (Beliau bersabda demikian) tiga kali.”[18]
Demikan Rasulullah mengabarkan tentang perihal kesyahidan beliau. Sang khalifah pun memegang apa yang diwasiatkan Rasulullah kepadanya hingga akhir hayatnya. Beliau senantiasa berpegang teguh terhadap sunnah Rasul, sehingga akhirnya beliau memang terbunuh ditangan golongan orang-orang munafik. Peran Khalifah Usman dalam menjaga hadis juga sangat signifikan. Seperti Abu bakar dan Umar, secara umum kebijakan Usman tentang periwayatan hadis tidak jauh berbeda dengan mereka. Hanya saja langkah Usman tidaklah setegas langkah Umar bin Khattab.
Dalam suatu kesempatan khutbah, Usman meminta kepada para sahabat agar tidak banyak meriwayatkan hadis yang tidak pernah didengar pada masa Abu Bakar dan Umar. Pernyataan ini mengindikasikan sikap kehati-hatian Usman dalam menjaga kemurnian hadis. Namun, dapat dikatakan bahwa zaman kekhalifahan Usman bin Affan kegiatan umat islam dalam periwayatan hadis telah lebih banyak bila dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada  masa Umar bin khattab. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa Usman dalam khutbahnya menyeru agar umat islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Akan tetapi, pengaruhnya terhadap para periwayat hadis pada saat itu tidak terlalu besar. Hal ini disebabkan karena selain kepribadian Usman yang tidak sekeras Umar, juga karena wilayah yang islam yang semakin meluas, sehingga mengakibatkan sulitnya pengendalian kegiatan periwayatan hadis secara ketat.[19]
F.     Peristiwa Fitnatul Kubra[20]
Khalifah Usman, sebagaimana yang telah diketahui, beliau adalah sosok pemimpin yang familier. Namun dibalik model kepemimpinanya ini mengakibatkan dampak yang kurang baik terhadap pemerintahannya. Di antara tanda-tandanya adalah tuduhan adanya “nepotisme” yang terjadi pada tubuh pemerintahnnya. Padahal jika diteliti secara cermat dengan mengguanakan data kualitatif, maka dapat diketahui bahwa isu nepotisme tersebut hanyalah merupakan trik-trik yang digulirkan para provkator yang mengingkari pemerintahan Usman bin Affan. Mereka menghalalkan segala cara untuk melepaskan baju kepemimpinan Usman bin Affan. Klimaks dari usaha mereka adalah peristiwa terbunuhnya Usman bin Affan.
Sebagaimana yang telah disinggung di muka, Rasulullah jauh-jauh hari telah mewasiatkan kepada Usman tentang akan terjadinya fitnah yang menyebabkan dirinya terbunuh. Beliau juga mengisyaratkannya kepada Usman agar tidak mengundurkan diri dari jabatan kekhalifahannya, meskipun ia diminta untuk melepaskan jabatan tersebut. Usman pun memegang erat apa yang disabdakan Rasulullah, hingga akhirnya beliau terbunuh.
Peristiwa fitnatul Kubro diawali dengan masuk islamnya orang-orang persia (awalnya beragama Majusi) dan sebagian orang Yahudi. Orang yang menjadi pentolan dari mereka adalah Abdullah bin Saba’ atau Ibnu As-Sauda’, seorang Yahudi yang menampakkan keislaman di masa ‘Utsman bin ‘Affan. Dia muncul di tengah-tengah muslimin dengan membawa makar yang sangat membahayakan, menebar bara fitnah untuk memecah-belah barisan kaum muslimin. Pada hakikatnya mereka semua adalah orang-orang zindiq yang menampilkan keislamannya dan menyembunyikan kekufuran di dalam hatinya. Mereka ingin menruntuhkan Islam dengan memasang berbagai tipu daya dan taktik untuk mengobarkan api fitnah ditengah-tengah umat Islam.
Tidak mudah memang bagi Ibnu Saba’ menyalakan api di tengah kejayaan Islam, di tengah kekuasaan Islam yang telah meluas ke seluruh penjuru timur dan barat, di saat muslimin memiliki kewibawaan di mata musuh-musuhnya kala itu. Ibnu saba’ pun memulai tipu dayanya dengan menanamkan kebencian pada khalifah ‘Utsman bin Affan  di tengah kaum yang dungu lagi bodoh. Tujuannya adalah untuk memudarkan kemulian-kemuliaan ‘Utsman bin Affan  di hadapan manusia dan menjatuhkan kewibawaan khalifah.
Kaki Ibnu Sauda’ yang penuh kebengisan dan kedengkian pada syariat Allah  menjelajah negeri. Fitnahnya dia mulai dari Hijaz; Makkah, Madinah, Thaif, lalu Bashrah, lalu Kufah. Kemudian masuklah ia ke wilayah Damaskus (Syam). Usaha demi usaha dia tempuh di sana, namun impian belum mampu ia wujudkan. Dia tidak kuasa menyalakan api kebencian terhadap khalifah ‘Utsman  di tengah-tengah kaum muslimin di negeri-negeri tersebut, hingga penduduk Syam mengusirnya.
Dengan segala kebusukan, pergilah Ibnu Saba’ ke Mesir. Di sanalah dia dapatkan tempat berdiam. Di tempat baru inilah dia dapatkan lahan subur untuk membangun makar besarnya, menggulingkan khalifah Utsman  dan merusak agama Islam. Mulai Ibnu Saba’ leluasa menghubungi munafiqin dan orang-orang yang berpenyakit, hingga terkumpul massa dari penduduk Mesir dan Irak guna membantu makarnya. Bersama pembantu-pembantunya, dia sebarkan keyakinan-keyakinan menyimpang serta tuduhan-tuduhan dusta atas khalifah di tengah-tengah kaum yang bodoh lagi menyimpan kemunafikan. Hingga suatu saat nanti, terwujudlah cita-citanya  menumpahkan darah khalifah dan memecah-belah barisan muslimin.
Akhirnya dengan segala tipu dayanya Ibnu saba’ pun berhasil mengumpulkan masa besar dari penduduk Mesir dan Irak. Mereka  terbawa arus syubhat Ibnu Saba’. Mereka menuju Madinah dalam keadaan membenci khalifah, bahkan bertekad menggulingkan kekhilafahannya karena menurut mereka khalifah telah berkhianat.
Akhirnya, melalui usaha mereka yang panjang, pagi, Jum’at 12 Dzulhijjah, 35 H, mereka melakukan pengepungan.[21] Pagi itu Utsman berada di rumah bersama sejumlah sahabat yang terus bersikukuh hendak membela beliau dari kezaliman bughat. Di antara mereka adalah Al-Hasan bin ‘Ali, ‘Abdullah bin Umar, Abdullah bin Az-Zubair, Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah, dan sejumlah sahabat lainnya.Dengan sangat, Utsman bin ‘Affan  meminta mereka untuk keluar dari rumah, menjauhkan diri dari fitnah. Amirul Mukminin melarang para sahabat melakukan pembelaan dengan peperangan. Beliau tidak ingin terjadi pertumpahan darah di tengah-tengah kaum muslimin hanya dengan sebab beliau. Beliau tidak ingin ada sahabat-sahabat lain terbunuh dalam fitnah ini.[22]
Setelah permintaan Utsman  yang sangat kepada para sahabat, akhirnya mereka meninggalkan rumah Amirul Mukminin hingga tidak ada yang tersisa kecuali keluarga Utsman termasuk istri beliau, Na’ilah bintu Furafishah. Utsman  duduk bersimpuh di hadapan mushaf. Beliau  membacanya dalam keadaan berpuasa di hari itu. Beliau  perintahkan untuk membuka pintu rumah dengan harapan para pengepung tidak berbuat sekehendak hati mereka ketika menyaksikan beliau beribadah kepada Allah.
Tetapi mereka ternyata orang yang telah keras hatinya. Dalam suasana pengepungan dan kekacauan, masuklah seseorang hendak membunuh khalifah. Utsman pun berkata mengingatkan: “Wahai fulan, di antara aku dan dirimu ada Kitabullah!” Diapun pergi meninggalkan Utsman, hingga datang orang lain dari bani Sadus. Dengan penuh keberingasan, dia cekik leher khalifah yang telah rapuh hingga sesak dada beliau dan terengah-engah nafas beliau, lalu dia tebaskan pedang ke arah Utsman bin ‘Affan . Amirul Mukminin menlindungi diri dari pedang dengan tangannya yang mulia, hingga terputus bercucuran darah. Saat itu Utsman berkata:
أَما والله، إِنَّها لَأَول كف خطّت الْمفصَّل
“Demi Allah, tangan (yang kau potong ini) adalah tangan pertama yang mencatat surat-surat mufashshal.”[23]
Lalu masuklah orang lain dengan menghunus sebilah pedang, akan tetapi ia dihadang oleh istri Usman, Nailah binti Farfishah, kemudian Nailah memegang pedang tersebut dengan tangannya, orang tersebut menarik pedangnya, sehingga jari-jari Nailah terputus. Melihat hal ini, Nailah kemudian menjatuhkan tubuhnya di atas tubuh Usman untuk melindunginya dari hunusan pedang. Akan tetapi salah seorang dari mereka menusukkan pedangnya dari bawah tubuh Nailah, tepat mengenai perut Usman, kemudian mereka menekannya hingga tembus sampai ke punggung Usman. Akhirnya Usman pun wafat di tangan para pemberontak-pemberontak tersebut.[24]
G.    Reformasi Hadis Pasca Terbunuhnya Usman
Setelah terjadinya peristiwa Fitnatul Kubro, kondisi umat Islam tidak lagi beraturan. Mereka kehilangan arah dan tidak mempunyai seorang pemimpin. Pada masa ini umat Islam mengalami Vacum Of Power, tidak adanya sosok khalifah yang memimpin membuat kondisi umat Islam menjadi lemah, kosongnya kekuatan, meskipun hanya sementara. Kosongnya kekuatan umat Islam ini dimanfaatkan oleh ahli bid’ah untuk menyerang akidah Islam. Mereka bermain di air keruh dengan mengusung bad purpose untuk menjadikan umat Islam bercerai-berai.
Eksistensi hadis pasca terbunuhnya Usman memiliki gaya yang berbeda. Hadis tampil dengan wajah yang baru. Di sinilah para sahabat mulai menggunakan sanad pada setiap periwayatan hadis. Sebelumnya, para sahabat ketika meriwayatkan hadis, mereka secara langsung menyampaikannya kepada sahabat yang lainnya Hal ini karena para sahabat yang meriwayatkan hadits Nabi saw. adalah orang-orang yang adil dan tepercaya. Mereka adalah pribadi-pribadi yang senantiasa jujur dalam penukilan dan tidak pernah berdusta.Tidak seorang pun dari mereka yang tercela dan lemah. Kalau di antara mereka ada yang tercela, lemah, atau tidak jujur, tentu beliau  telah mengecualikannya dengan bersabda, “Hendaknya si fulan dan si fulan di antara kalian yang menyampaikan kepada yang tidak hadir.” Tatkala beliau menyebutkannya secara global dalam perintah menyampaikan agama, ini menunjukkan bahwa mereka semuanya adil.
Setelah peristiwa terbunuhnya Usman para sahabat apabila mendengar Hadis mereka selalu bertanya, dari manakah hadis itu diperoleh? Jika mereka mendapat hadis dari orang ahlussunnah, hadis itu pun mereka terima. Akan tetapi, jika hadis diperoleh dari ahlubid’ah maka hadis itu pun mereka tolak.Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Sirin dalam muqaddimah Shahih Muslim:
“Dahulu mereka tidak pernah bertanya tentang sanad. Namun, tatkala telah terjadi fitnah mereka berkata, “Sebutkan nama perawi-perawi kalian!” Kemudian dilihat kepada Ahlus Sunnah maka diambil haditsnya, dan dilihat kepada ahli bid’ah maka tidak diambil haditsnya.”[25]
Adanya sanad inilah yang menjadi main point adanya reformasi pada hadis.Pada saat itu eksistensi sanad sangatlah dibutuhkan. Karena tanpa adanya sanad seorang akan mengatakan apa saja dengan menisbahkannya kepada Nabi SAW. Hal ini sesuai dengan ungkapan yang telah ada:
الإسناد من الدين ولولا الإسناد لقال من شاء ما شاء
Sistem sanad itu termasuk bagian dari agama Islam, sebab seandainya tidak ada sanad seorang akan mengatakan apa saja yaingin mereka katakan.
Hal tersebut mengisyaratkan bahwa sejak terbunuhnya Usman bin Affan sebagai Khulafa’ Rasyidin, pemalsuan hadis mulai dilakukan oleh kelompok-kelompok penyebar bid’ah, yaitu orang-orang yang tidak mengikuti tradisi Nabi saw. dan para sahabat. Namun, perlu diketahui bahwa para pembuat hadis palsu bukanlah berasal dari orang Islam saja, akan tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non-Islam. Golongan non-Islam membuat hadis palsu, karena mereka memiliki motivasi untuk meruntuhkan Islam dari dalam. Hal ini jika dilihat dari kaca mata historis akan terlihat bagaimana orang-orang non-Islam ingin merebut kejayaan yang sedang dicapai oleh Islam. Pada abad itu orang-orang non-Islam berada pada masa renaissance (masa kegelapan), sedangkan umat Islam dibawah pimpinan khulafa’ Rasyidin telah melakukan perluasan wilayahnya. Hal ini memicu golongan non-Islam untuk melakukan serangan terhadap umat Islam.
Sedangkan pembuat hadis palsu yang berasal dari golongan umat Islam, mereka didorong oleh berbagai tujuan tertentu.[26] Diantara mereka ada yang bertujuan untuk mencari rizki ataupun mencari popularitas. Mereka yang bertujuan seperti ini adalah Abu Sa’id Al-Madaini, Ibnu Abi Dihyah, dan Hammad al-Nushaibi. Selain itu, sebagian mereka ada yang menggantungkan tujuan mereka hanya untuk mendapatkan pujian dari penguasa. Mereka membuat hadis palsu untuk menjilat penguasa mereka. Hal seperti ini pernah dilakukan oleh Ghiyats bin Ibrahim al-Nakha’i.[27] Lebih lanjut ditegaskan bahwa berdasarkan data historis, pembuat hadis palsu ada yang karena sengaja dan ada yang tidak sengaja . Di samping itu, pembuat hadis palsu ada yang disebabkan karena keyakinannya memang membolehkan pembuatan hadis palsu dan ada yang karena tidak mengetahui bahwa dirinya telah membuat hadis palsu.[28]
Hal yang paling mendasar dan yang menjadi motivasi utama para pembuat hadis palsu adalah “motivasi politik”. Lebih-lebih sejak terbunhnya Husein bin Ali (61 H), menyusul timbulnya kelompok-kelompok politik dalam Islam, pemalsuan hadis dirasa semakin parah.[29] Karena untuk memperoleh legitimasi, masing-masing kelompok memerlukan dalil yang mendukung argumen mereka. Apabila mereka tidak menemukan hadis yang mereka cari, maka mereka akan mengeluarkan sebuah pernyataan yang mereka sandarkan kepada Nabi saw., padahal Nabi sekalipun tidak pernah mengatakan hal tersebut. Pertentangan politik yang mereka alami mendorong mereka untuk menghalalkan segala cara demi mencapai kepuasan hasrat politik kelompok mereka. Sekedar contoh, berikut ini akan dikemukakan beberapa hadis palsu:
ياعلي ان الله غفر لك ولذريتك ولوالديك و لأهلك ولشيعتك و لمحبى شيعتك
Wahai Ali, sesungguhnya Allah mengampuni kamu, anak-anakmu, kedua orang tuamu, keluargamu, pengikutmu dan orang yang mencintai pengikutmu.[30]
Pernyataan diatas digunakan oleh orang Syi’ah untuk memuliakan Ali bin Abi Thalib, kemudian mereka menyandarkan perkataan mereka kepada Rasulullah saw. Sedangkan para pembela Muawiyah pada saat itu juga ikut serta menyuarakan hadis-hadis palsu untuk membela kelompok mereka, di antaranya adalah:
ان النبي صلى الله عليه وسلم ناول معاوية سهما وقال : خذ هذا السهم حتى تلقاني به في الجنة
Sesungguhnya Nabi saw. memberikan Muawiyah anak panah kemudian bersabda, “Simpanlah anak panah ini, hingga kau menemuiku dengan itu di surga.”[31]
Demikianlah munculnya hadis palsu di kalangan umat Islam. Mereka terus beradu argumen untuk mendapatkan legitimasi dengan bantuan hadis palsu. Hal yang perlu diketahui bahwa jumlah hadis palsu tidaklah sedikit. Sejak khalifah Usman terbunuh, ahli bid’ah senantiasa membuat hadis palsu untuk memenuhi tujuan mereka. Para ulama’ hadis pun  berusaha membendung arus bertambahnya jumlah hadis palsu. Mereka mulai menyusun berbagai kaedah penelitian hadis.  Melalui usaha ini, mucullah berbagai ilmu hadis, di antaranya yaitu: ‘ilm rijal al-hadis dan ‘ilm al-jarh wa al-ta’dil. Dengan adanya ilmu tersebut, maka hadis-hadis yang telah berkembang di masyarakat serta hadis-hadis yang ada dalam kitab-kitab dapat diteliti, kemudian diketahui keautentikannya. Adanya ilmu-ilmu tersebut telah mebuat ulama ahli hadis berhasil menghimpun hadis-hadis palsu dalam kitab-kitab khusus. Di antara kitab-kitab yang di dalamnya menghimpun hadis-hadis palsu adalah Tadzkirah al-Maudlu’at karya Abu al-Fadhl Muhammad ibn Thahir al-Maqdisy, al-Maudlu’at al-Kubrokarya Abu al-Faraj Abdurrahman Ibn al-Jauzy, dsb.[32]
H.    Simpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan beberapa hal, pertama, bahwa pada masa kekhalifahan Usman bin Affan hadis mulai mengalami perkembangan dibandingkan kekhalifahan sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan gaya kepemimpinannya yang cenderung “longgar” dalam menetapkan sebuah kebijakan. Kedua, hadis yang berkembang setelah terbunuhnya khalifah Usman menunjukkan adanya sebuah “reformasi”. Hal ini karena pada masa setelah terbunuhnya Usman, para sahabat mulai menggunakan tradisi sanad dalam setiap kegiatan periwayatan hadis. Ketiga, Peristiwa terbunuhnya khalifah Usman menyebabkan pintu-pintu kedustaan terbuka dengan lebar, sehingga arus perkembangan hadis palsu hampir tidak terbendung. Akan tetapi, para ulama ahli hadis kemudian menetapkan kaedah-kaedah yang digunakan untuk menyelidiki sebuah hadis, sehingga dapat diketahui kualitasnya. Bersamaan dengan hal ini, muncul berbagai kluster keilmuan baru dalam bidang hadis. Munculnya ilmu-ilmu tersebut telah membantu ulama hadis dalam menghimpun berbagai hadis palsu dalam kitab-kitab khusus. Wallahu a’lam.



Daftar Pustaka
Ahmad, Muhammad, 1998. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
Al-Bahanasawi, Salim Ali. 2001. As-sunnah Al-Muftara ‘Alaiha, terj. Abdul Basith Junaidy, Yogyakarta: Ittaqa Press.
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, dalam CD Mausuah Maktabah Syamilah.
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj. Ushul Al-Hadits. terj. Nur, Qodirun dan Musyafiq, Ahmad. 2013
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj. 1963. Al-Sunnah qabl al Tadwin. al-Sunnah qabl al-Tadwin.  Kairo: Maktabah Wahbah.
Ash-Shiddiqy,  Muhammad  Hasbi.2009. Sejarah  dan  Pengantar  Ilmu  Hadis. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Hakim, Mohammad Thahir. terj. Zainal Arifin Zamzam 1984. Sunnah dalam Tantangan Pengingkarnya. Jakarta: Granada.
Ibnu Katsir, 2012.Al-Bidayah wa al-Nihayah,terj. Abu Ihsan Al-Itsari. Jakarta: Darul Haq.
Ismail, M. Syuhudi. 1998. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulan Bintang.
Itr, Nuruddin
Qudsy, Saifuddin Zuhri. “Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis”. Esensia Vol. 14 No. 2 Oktober 2013
Saifuddin,  2011.Arus  Tadwin  Hadis  dan  Historiografi  Islam,  Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suryadilaga, M. Alfatih. 2012. Metodologi Syarah Hadis. Yogyakarta: SUKA-Press.
Yaqub, Ali Mustofa. 2008. Kritk Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ya’la, Abu. “Tragedi Terbunuhnya Utsman bin Affan”. www.kampungsunnah.org diakses 15 Desember 2014
Zainuddin, Muhadi dan Mustaqim, Abdul. 2002. Studi Kepemimpinan Islam. Yogyakarta: Al-Muhsin Press.



[1] Saifuddin Zuhri Qudsy, “Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis”, Essensia, Vol. 14,  No. 2, hlm. 1
[2]M.Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 24-25.
[3]M.Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis (Yogyakarta: SUKA-Press, 2012), hlm. viii
[4]Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar……, hlm. 38
[5] Muhammad Ahmad, Ululmul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 29
[6]Salim Ali Al-Bahanasawi, As-sunnah Al-Muftara ‘Alaiha, terj. Abdul Basith Junaidy, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), hlm. 17
[7] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm.128
[8] Fathul Bari
[9] M.Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), hlm.91
[10] Mereka adalah golongan sahabat yang banyak meriwayatkan hadis. Di antara mereka adalah Abu Hurairah, Anas bin Malik, Aisyah R.A.,
[11] Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013), hlm.76.
[12] Yaitu sepuluh orang  sahabat yang mendapatkan berita gembira dari Rasulullah bahwa mereka akan dimasukkan surga. Terdapat sejumlah hadis yang meriwayatkan tentang hal ini. Diantaranya  adalah hadis yang berasal dari Abu Musa Al-Asy’ari. Lihat Al-Bidayah wa al-Nihayahhlm. 323
[13]Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, terj. Abu Ihsan Al-Itsari, (Jakarta: Darul Haq, 2012), hlm. 319
[14]Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, ......., hlm. 422
[15]Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, ......., hlm. 426
[16] Muhadi Zainudin dan Abd. Mustaqim, Studi Kepemimpinan Islam, (Yogyakarta: Al-Muhsin Press, 2002), hlm. 69
[17] Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, terj. Abu Ihsan Al-Itsari, (Jakarta: Darul Haq, 2012), hlm.
[18] Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, ........, hlm. 428
[19] M.Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan, ....... , hlm.43
[20] Penulis dalam memaparkan bagian ini banyak merujuk dari buku terjemahan kitab al-Bidayah wa al-Nihayah. Untuk penjelasan yang lebih lengkap lihat al-Bidayah wa al-Nihayah karya Ibnu Katsir, pada bab yang menjelaskan terbunuhnya khalifah Usman.
[21] Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, ......., hlm. 440
[22]Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, terj. Abu Ihsan Al-Itsari, (Jakarta: Darul Haq, 2012), hlm. 435
[23] Abu Ya’la, “Tragedi Terbunuhnya Usman bin Affandalam http://www.kampungsunnah.org diakses pada tanggal 15 Desember 2014
[24]Abu Ya’la, “Tragedi Terbunuhnya Usman bin Affandalam http://www.kampungsunnah.org diakses pada tanggal 15 Desember 2014
[25] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), hlm. 50
[26] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis,......., hlm. 95
[27] Ali Mustafa Ya’kub, Kritik Hadis,......., hlm. 84
[28] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis,......., hlm. 97
[29] Ali Mustafa Ya’kub, Kritik Hadis,......., hlm. 82
[30] Muhammad Ajaj Al-Khatib, al-Sunnah qabl al-Tadwin (Kairo: Maktabah Wahbah, 1963), hlm. 199
[31] Muhammad Ajaj  Al-Khatib, al-Sunnah qabl al-Tadwin,......., hlm. 201.
[32] Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits, ......., hlm. 372.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar