ZUHUD DAN ITTIBA’ AL- HAWA
Abstract
This
article explain about how urgent the concept of zuhud and ittiba’
al-hawa’ are, due to the development of science and technologhy in this
moder era. The writer will explore some cases that has been happening recently
in linked with concept of tasawuf i.e. zuhud and ittiba’ al-hawa. The
methods used are descriptive-analitic.
Kaywords:
Kontekstualisasi, Ittiba’ al hawa, Zuhud
A.
Pendahuluan
Di zaman globalisasi ini, zaman yang dipenuhi dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, segala jenis kenikmatan, kemewahan dan keglamoran
menyapa manusia dengan lembutnya. Manusia yang hidup di zaman ini tentunya akan mengikuti arus perkembangan kehidupan
yang mencakup segala pernak-pernik yang menghiasinya. Dalam hal ini, manusia
membutuhkan sebuah lentera yang dapat menerangi perjalanan hidupnya, menampakkan
jalan kebenaran yang harus dilaluinya serta membimbingnya untuk kembali
keharibaan rabb-nya dengan penuh kedamaian.
Sebagai makhluk yang berakal, manusia tidak cukup hanya
mengandalkan akal, meskipun eksitensi akal tersebut memberinya kemampuan untuk
membedakan antara hal yang baik dan hal yang buruk, serta hal yang dapat
memberikan manfaat terhadap dirinya dan hal yang membawa madlarat terhadap
dirinya. Manusia akan lebih membutuhkan nilai-nilai spritual yang tidak dapat
digapai oleh akal manusia seberapapun tinggi tingkat kecerdasan yang
dimilikinya. Nilai-nilai spiritual tersebut menjadi lebih urgen keberadaannya
ketika sedang mengalami berbagai persoalan hidup yang menghampirinya.
Kecerdasan spiritual akan membawanya menuju kedalam sebuah ruangan tanpa batas
yang didalamnya manusia dapat melakukan dialog dengan tuhannya. Melalui dialog
ini manusia sering kali menemukan solusi atas persoalan hidupnya atau paling
tidak ia menemukan sebuah penghibur atas persoalan hidup yang sedang dihapinya.
Di antara
sekian banyak sendi-sendi spiritual, zuhud adalah salah satu pokonya. Bersikap
zuhud akan mengarahkan manusia agar tetap berada dalam sabil al-rusyd yang
menjadi jalan yang diridloi oleh tuhannya. Selain itu, dengan adanya kezuhudan
dalam diri manusia, ia tidak akan melampaui batas-batas kemanusian sehingga ia
dapat terhindar dari kejahatan yang disebabkan karena selalu menuruti hawa
nafsunya (ittiba’ul hawa).
Tulisan ini
secara ringkas dan padat akan memeberikan sebuah deskripsi yang didalamnya memuat tentang analisis
sebuah hubungan antara peranan zuhud sebagai spritualitas manusia dengan
kehidupan di era modern ini. Selain itu, karya ini juga akan mengupas bagaimana
konsep ittiba’ul hawa kaitannya dengan sikap manusia dalam
meminimalisasi sifat tersebut.
B.
Definisi Zuhud
Mayoritas sufi berbeda dalam mendefinisikan tentang pengertian
zuhud. Perbedaan pengalaman mereka dalam tasawuflah yang menimbulkan perbedaan
definisi tersebut. Zuhud atau Zuhd dalam bahsa arab adalah bentuk isim masdar
dari kata زهد
او زهد-يزهدdan زهد-يزهد-زهدا وزهادة فى الشى وعنه.[1] Zuhud secara
literatur berarti meninggalkan, tidak tertarik, dan tidak menyukai. Menurut Abu
Bakar Muhammad al-Waraq (w. 290 H/ 903 M) mengandung tiga hal yang harus
ditinggalkan. Huruf ‘z’berarti zinah (perhiasan dan kehormatan), huruf
‘h’ berarti hawa (keingin), dan huruf ‘d’ menunjukkan pada dunya
(dunia materi. Dalam prespektif tasawuf, zuhud diartikan dengan tidak
tertariknya hati terhadap hal ihwal keduniaan dan menjauhkan diri darinya,
karena taat kepada Allah SWT, padahal terdapat kesempatan untuk memperolehnya[2].
Menurut
Abu Hasan al- Syadzili[3]
keperluan manusia pada hal ihwal keduniaan tidak dapat dikesampingkan. Menurutnya,
yang dikatakan orang zuhud ialah orang yang menggunakan hal ihwal kedunian
sekedar untuk memenuhi hajat hidupnya. Hajat hidup yang dimaksud ialah
kebutuhan individual, keluarga, masyarakat, bahkan dalam hal bernegara. Orang
yang zuhud ialah orang yang mampu menggunakan segala hal ihwal duniawi sesuai
dengan ketentuan hukum dan etika, bukan untuk berlebih-lebihan dan
berfoya-foya. Penggunaan materi demikian tidak dinilai bersifat keduniaan
karena segala sesuatu untuk kepentingan pendekatan diri kepada Allah SWT.[4]
C.
Dalil-Dalil
Tentang Zuhud
Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang
menerangkan tentang zuhud adalah
QS. Yusuf: 20
“dan mereka
menjual Yusuf dengan harga yang murah, Yaitu beberapa dirham saja, dan mereka
merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf[5]”
QS.An-Nisa: 77
“tidakkah kamu
perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu
(dari berperang), dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat!" setelah
diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan
munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan
lebih sangat dari itu takutnya. mereka berkata: "Ya Tuhan Kami, mengapa
Engkau wajibkan berperang kepada kami? mengapa tidak Engkau tangguhkan
(kewajiban berperang) kepada Kami sampai kepada beberapa waktu lagi?"
Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih
baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun”
Ayat
tersebut memberikan penegasan kepada orang-orang munafiq yang tidak jadi
berperang karena takut mati dan menginginkan hidup dan kenikmatan dunia, bahwa
kenikmatan yang ada di dunia ini sifatnya fana dibandingkan dengan kenikmatan
yang ada diakhirat. Kenikmatan akhirat lebih baik dari pada kenikmatan dunia,
sebab kenikmatan dunia terbatas dan hilang, sedang akhirat banyak dan kekal
yang tidak diterima kecuali buat hamba-Nya yang taqwa[6].
Banyak
hadis yang menjelaskan tentang zuhud, diantaranya adalah HR. Al-Baihaqi
dalam Syu’bil Iman, Nabi SAW telah bersabda:
ما زهد عبد
فى الدنيا الا انبت الله الحكحة فى القلبه وانطلق بها لسانه وبصره عيب الدنيا
ودواءها واخرجه منها سالما الى دار السلام
“Tiada seorang hamba yang zuhud di dunia, kecuali Allah SWT
menumbuhkan hikamah dalam hatinya mulut
dan mata hatinya dapat mengatakan dan memandang celanya dunia serta obatnya,
dan Allah SWT akan mengeluarkannya dari dunia dengan selamat menuju
Darus-Salam”.
Dalam HR. Imam Ahmad, Nabi SAW, bersabda:
الزهد فى الدنيا راحة القلب والبدن والزغبة
فى الدنيا تطيل الهم والخزن وما قصر عبد فى طاعة الله الا ابتلاه الله بالهم
“Zuhud terhadap dunia akan mengenakan hati dan badan, cinta dunia akan
memperpanjang siksa dan duka, dan tiada seorang hamba yang sedikit atat kepada
Allah SWT, kecuali Allah SWT akan mengujinya dengan kedukaan”[7]
Dalam HR. Ibn Majah
يا رسول الله دلنى على عمل اذا انا عملته
احبنى الله واحبنى الناس فقال رسول الله صلم ازهد فى الدنيا يحبك الله و ازهد فيما
فى ايدى النااس يحبك
“Hai utusan Allah, tunjukanlah aku suatu perbuatan, yang apabila saya
kerjakn akan dicintai Allha dan dicintai manusia. Maka Nabi menjawabnya:
‘Berzuhudlah didunia engkau akan dicintai Allah, dan berzuhudlah apa yang ada
ditangan manusia, mereka akan mencintaimu”[8]
D. Pembahasan Zuhud
1.
Faktor Zuhud
Dalam sejarah islam, sebelum
timbulnya aliran tasawuf. Terlebih dahulu muncul aliran zuhd. Aliran zuhd
atau ascetiscism muncul pada akhir abad I dan permulaan abad II H.
Aliran ini timbul sebagai reaksi terhadap hidup mewah dari Khalifah dan
keluarga serta pembesar-pembesar negara sebagai akibat dari kekayaan yang
diperoleh setelah Islam meluas ke Syiria, Mesir, Mesopotamia, dan Persia.
Orang melihat perbedan besar antara
hidup sederhana dari Rasul SAW dan para Sahabat dan Khalifah-Khalifah yang
empat, terutama Abu Bakar dan Umar. Mu’wiyah telah hidup sebagai raja-raja Roma
dan Persia dalam kemewahannya. Anaknya Yazid tak memperdulikan ajaran-ajaran
agama. Dalam sejarah Yazid dikenal sebagai seorang pemabuk. Di antara
Khalifah-Khalifah Bani Umayyah, hanya Khalifah Umar Bin Abdul Azizlah (717-720
M), yang dikenal sebagai Khalifah yang mempunyai sifat taqwa dan patuh kepada
jaran-ajaran Islam dan sederhana hidupnya. Selainnya hidup dalam kemewahan.
Khalifah-khalifah Bani Abbas juga demikian.
Melihat hal-hal ini orang-orang yang
tidak mau turut dalam hidup kemewahan dan ingin mempertahankan hidup
kesederhanaan dijaman Rasul dan Sahabat-sahabatnya, menjauhkan diri dari dunia
kemewahan itu. Sebelum timbul hidup
mewah itu,pada zaman perlombaan dan persaingan untuk merebut kekuasaan[9]
dalam Khalifah, terutama di masa Usman dan Ali, ada Sahabat-sahabat yang
mengasingkan diri, yaitu yang bersikap i’tizal (mengasingkan diri).
Aliran zuhd ini mulai nyata
kelihatan di Kuffah dan Basrah di Irak. Paa zahid Kuffahlah yang pertama
kali memakai wol-kasar sebagai reaksi terhadap pakaian sutra yang dipakai
golongan Bani Umayyah Umpanya Sufyan Al-Tsauri (w.135 H), Abu Hasyim (w. 150 H)
dan Jabir Ibn Hasyim (w. 190 H).
Di Basrah sebagai kepala tenggelam
dalam kemewahan, aliran zuhd mengambil corak yang lebih ekstrim dari
Kufah sehingga meningkat menjadi ajaran mistik. zahid yang terkenal
disini ialah Hassan Al-Basrih (w. 110 H) dan Rabiah Al-Adawiyah (w. 185 H).
Dari
kedua kota ini aliran zuhd pindah ke daerah-daerah lain. Di Persia (Khurasan),
muncullah Ibrahim Ibn Adha (w. 162 H) dan muridnya Syafiq Al-Bakhi (w. 194 H).
Di madinah muncul Ja’far al-Shidiq (w. 148 H).[10]
2.
Tingkatan
Zuhud
Menurut
al-Haraz orang-orang yang zuhud itu beraneka ragam, diantaranya orang-orang
yang mengsongkan hatinya daripada keduniaan (kesibukan) ,dan menghadapkannya
hanya untuk taat kepada Allah SWT, mengingatNya dan hatinya hnya untuk mengabdi
kepadaNya. Saat itu Allah akan memberikan kecukupan kepadanya. Rasulullah SAW
bersabda “ Barang siapa yang menjadikan pikiranya hanya satu (mengingat Allah),
Allah akan mencukupi pikiran-pikiran yang lainnya.[11]
Zuhud
merupakan sikap seseorang dalam memandang dunia, sehingga Al-Ghazali dalam Amin
Syukur (2004) membagi zuhud menjadi tiga tingkatan. Tingkat pertama
adalah zuhud terhadap dunia akan tetapihatinya masih condong kepada
dunia, kemudian sifat condong kepada dunia tersebut diperanginya. Tingkat ini
disebut al-Mutazahid (orang yang berusaha zuhud) atau disebut
dengan pendahulu zuhud. Tingkat kedua meninggalkan dunia dengan hati
yang ikhlas, karena menganggap dunia ini hina dan akhiratlah tujuan yang
sebenarnya. Dan memfokuskan tujuan hidup di dunia untuk bekal di akhirat.
Tingkat ketiga ialah zuhud didalam kėzuhudān. Orang ini tidak
mengetahui dirinya zuhud, sebab dia mengetahui bahwa dunia seisinya
tidak sebanding dengan Allah Swt. Zuhud ini muncul kerena telah ma’rifat
kepada Allah Swt.
Menurut Imam Ahmad ibn Hamabal dalam Amin
Syukur (2004), zuhud dibagi dalam tiga tahap. Pertama, zuhud orang
awam yaitu meninggalkan yang haram. Zuhudnya orang khawas (istimewa)
yaitu meninggalkan sesuatu yang berlebihan meskipun halal. Dan terakhir adalah zuhudinya
orang ‘arif (orang yang telah mengenal Tuhan) yaitu meninggalkan segala sesuatu
yang dapat membuat hatinya lupa akan
Swt.[12]
3.
Tanda-Tanda Kezuhudan
Adapun tanda-tanda orang yang memiliki sifat Zuhd[13]
adalah:
a.
Senantiasa melakukan amal shaleh
b.
Jika bertambah ilmunya, maka
bertambah pula sifat zuhudnya.
c.
Tidak tergiur dengan keduniaan,
karena keduniaan merupakan tipu daya, godaan dan fitnah.
d.
Senantiasa berbuat untuk kepentingan
akhirat, karena Allah SWT berjanji akan memberikan kecukupan untuk kepentingan
dunia dan agamya.[14]
4.
Kisah Orang yang Zuhud
Mengenai pembahasan ini, banyak
sekali kisah yang menceritakan ketaan seorang hamba yang dipaparkan melalui
contoh-contoh sikap zuhud. Dalam buku yang berjudul “Jalan Yang Ditempuh Para
Pencinta Allah SWT” kisah-kisah menarik mengenai hidup zuhud dituangkan di
dalamnya. Salah satunya adalah Gubernur Persi yang Zuhud (Salman Al-Farisi)
Ketika
Salman Al-Farisi menjabat sebagai gubernur madinah, dia menunggangi keledainya
dan bermaksud melakukan perjalanan jauh seorang diri. Akan tetapi, begitu kabar
keberangkatannya beredar kemana-mana sehingga terdengar oleh penduduk madinah, merekapun
berbondong-bondong keluar dari rumahnya masing-masing untuk menyambut diluar
kota. Setelah sampai ditengah perjalanan, Salman bertemu dengan orang-orang
yang bermaksud menyambutnya. Mereka bertanya kepada Salman, namun mereka tidak
menyadari kalau orang tua yang berada di hadapan mereka itu adalah Salman.
“Wahai orang tua, apakah engkau melihat amir kami?”
Salman berkata “Siapakah amir kalian?”
Mereka menjawab “Dia adalah Salman al-Farisi, seorang sahabat Nabi”
Salman berkata “Akulah Salman dan bukan seorang amir”
Maka,
merekapun terperanjak ketika mendengar penjelasan Salman. Merekapun segera
turun dari kudanya masing-masing dan berjalan kaki untuk menghormati dan
memuliakan Salman.kemudian mereka mempersilahkan Salman untuk memilih salah
satu kuda mana saja yang paling bagus untuk keperluan perjalanannya itu.
Akan
tetapi Salman berkata “Aku menungangi keledai ini lebih utama bagiku dan lebih
sesuai dengan keperluanku”
Ketika
sampai dikota mereka ingin membawa Salman ke istana gubernur. Akan tetapi,
Salman berkata “Aku bukanlah seorang amir sehingga harus tinggal di istana
gubernur”. Kemudian Salman menyewa toko dipasar dan dari toko inilah Salman
mengatur urusan dunia dan akhirat dengan adil dan bijaksana.[15]
E.
Kontekstualisasi
Zuhud Pada Masa Kini
Dalam
kaitannya dengan problema[16]
masyarakat modern, maka secara praktis tasawuf mempunyai potensi besar karena
mampu menawarkan pembebasan spiritual, ia mengajak manusia mengenal dirinya
sendiri, dan akhirnya mengenal Tuhannya. Tasawuf mampu memberi jawaban-jawaban
terhadap kebutuhan spiritual akibat pendewaan mereka terhadap selain Tuhan.
Dalam
tasawuf zuhd dikenal sebagai satu
stasion (maqam) untuk menuju jenjang kehidupan tasawuf, namun di sisi
lain ia merupakan moral Islam. Dalam posisi ini tidak berarti suatu tindakan
pelarian dari kehidupan dunia nyata ini, akan tetapi ia adalah usaha
mempersenjatai diri dengan nilai-nilai rohaniah yang baru yang akan menegakkan
saat menghadapi problematika hidup yang serba materialistik, dan berusaha
merealisasikan keseimbangan jiwanya sehingga timbul kemampuan menghadapinya
dengan sikap jantan. Kehidupan ini hanyalah sekedar sarana, bukan tujuan.
Seorang zahid mengambil dunia atau materi secukupnya, tidak terjerat cinta
padanya, sebagaimana sifat orang kafir
yang digambarkan Tuhan. (QS.
Al-Fajr: 20)
Hal ini bukan berarti usaha pemiskinan, akan tetapi dunia dan
materi itu dimiliki dengan sikap tertentu, yakni menyiasatinya agar dunia dan
materi itu menjadi bernilai akhirat, semua dijadikan sarana beribadah kepada
Allah SWT sebagaimana yang dikehendaki[17]
Allah SWT.[18]
A.
Definisi Ittiba’ul
Hawa
Ittiba’ul Hawa secara literal memiliki dua akar kata ittiba’ dan
Hawa. Ittiba’ berasal dari bahasa
Arab dan merupakan bentuk masdar dari kata إِتَّبَعَ –
يَتَّبِعُ – إِتِّبَاعًا
berarti mengikuti, menyusul. Adapun
kata hawā (( اَلْهَوَى memiliki arti yang sama dengan Hubb ( (اَلْحُبُّ yang berarti cinta.[19]
Sedangkan menurut Dr. Sayyid Muhammad Nuh, kata al-hawā dalam bahasa Arab
memiliki beberapa makna, diantaranya: 1) kecenderungan jiwa kepada yang
disukai; 2) keinginan (irādah) jiwa kepada yang dicintai; 3) rasa cinta yang
sudah merasuk ke dalam hati; dan 4) rasa cinta yang sudah menguasai jiwa. Semua
makna al-hawā di atas dapat berlaku untuk sesuatu yang baik maupun buruk.
Para ahli bahasa mengatakan,
kata “al-hawā, apabila disebutkan secara mutlak (tanpa pengkhususan), maknanya
tertuju pada sesuatu yang buruk; kalau makna yang dikehendaki adalah kebaikan,
kata itu harus digandengkan dengan kata sifat, seperti hawā hasan (hawa yang
baik) atau hawā muwāfiq li al-Shawāb (hawa yang mengikuti kebenaran).[20]
Terkadang kata nafsu digunakan untuk kecenderungan nafsu yang bersifat umum
yakni bisa cenderung kepada yang baik maupun yang buruk. Akan tetapi umunya
kata al-hawa dipergunakan dalam arti kecenderungan nafsu kepada sesuatu yang
menyalahi kebenaran. Ibnu Abbas mengatakan: “Allah tidak menyebut kata
‘al-hawa’pada suatu tempat dalam Kitab-Nya, kecuali dengan mencelanya”.[21]
Jadi hawa ada yang
terpuji dan ada yang tercela. Hawa yang terpuji adalah ciptaan Allah yang
dianugerahkan kepada manusia supaya dia dapat membangkitakn kehendak
mempertahankan diri dan menangkis bahaya yang akan menimpa, berikhtiar mencari
makan dan minum serta tempat kediaman (dengan cara dan tujuan yang halal).
Hawalah yang mendorongnya. Adapun hawa yang tercela adalah hawa nafsu yang
terbit dari kehendak jahat, kehendak kepada loba dan berlebih dari keperluan.
B. Dalil-Dalil Tentang Ittiba’ul Hawa
Dalam al-Qur’an frasa Ittiba’ al-Hawā selalu
bermakna negatif. Hal ini sebagaimana digambarkan dalam surat Shad [38]: 26:
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ
فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ
اللَّه إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا
نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah
(penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia
dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan
kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah
akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.
وأما
من خاف مقام ربه ونهى النفس عن الهوى. فإن الجنة هي المأوى (النازعات
41-42)
Dan,
siapa yang takut terhadap kebesaran Tuhannya, dan menjaga diri dari hawa nafsu.
Maka sesungguhnya surgalah balasannya.
Dari berbagai kitab tafsir
yang dirujuk, ditemui kesamaan penafsiran mengenai ayat ini. Tidak ada
perbedaan yang essensial pada setiap kitabnya. Dalam penafsirannya, Imam
al-Alusi menyampaikan, rasa takut yang dimaksud adalah rasa takut terhadap
Tuhan yang menguasai seluruh aspek hidupnya secara mutlak pada hari thammah
al-kubra (kiamat), dimana pada hari itu, manusia teringat setiap amalannya.
Dan menjaga diri dari hawa nafsu berarti menjaga dan mengatasi dorongan
terhadap syahawat dengan usaha mengalahkan dorongan ini di atas rasa
sabar, kecenderungan terhadap kebaikan, dan ketidaktergantungan terhadap bumbu
dunia. Maksud dari hawa adalah kecenderungan yang telah berkembang
menuju syahawat. Raghib menyampaikan bahwa menjaga diri dari hawa ini
sangat penting dan orang yang menjalankannya mendapatkan pujian, karena hawa
akan membawa kepada kelemahan di dunia, dan akhirnya di akhirat ia akan terbawa
kepada jurang neraka. Bahkan, ada sebuah kata bijak, “Jika engkau ingin suatu
kebenaran, maka carilah hawa-mu, dan tinggalkan ia!” Bagi orang yang
memenuhi kedua karakter ini, surgalah sebagai ganjarannya, bukan yang lainnya.
Sesuai dengan logika Raghib, hawa membawa kepada jurang neraka, maka
siapa yang meninggalkan hawa-nya, maka ia terhindar dari jurang, dan ia
selamat.[22] Sementara menurut Ibnu Katsir, orang
yang mempunyai rasa takut menghadap Tuhannya, takut terhadap hukumnya, dan
menjaga diri dari dorongan hawa, dan menggantinya dengan ketakwaan terhadap
Allah, balasannya di akhirat tiada lain adalah surga.[23]
Kata hawa, biasanya
dipakaikan bukan untuk hal yang terpuji. Menjaga diri dari yang satu ini memang
sangat sulit. Hal ini tercermin dari makna yang disampiakan oleh Sahl, “Tidak
selamat seseorang dari hawa nafsunya melainkan para nabi dan sebagian para
shiddiqiyyin.” Namun begitu, tentunya orang yang menjauhkan diri dari hal-hal
yang tidak terpuji dengan menjalani proses yang tidak mudah ini, nantinya akan
mendapatkan sebuah reward. Sesuai dengan kutipan dari Fadhil, “Sebaik pekerjaan
adalah mengalahkan hawa nafsu.”[24] Dengan redaksi yang sedikit berbeda,
menjaga diri dari hawa—sebagaimana disampaikan Syaukani—merupakan aktifitas
penjagaan diri dari dari dorongan menuju maksiat.[25] Tak jauh berbeda, menjaga diri dari hawa
nafsu—menurut Imam Mawardi—adalah dengan menghindari diri dari maksiat dan
keharaman. Sementara mengenai takut kepada Allah, dimaknai oleh Imam Mawardi
kepada dua poin; dalam konteks dunia, takut berbuat dosa, dan dalam konteks
akhirat, takut ketika berhadapan dengan hari perhitungan.[26] Rasa takut kepada Allah yang digandengkan
dengan pengekangan hawa nafsu pada redaksi ayat ini menurut Imam Ar-Razi karena
takut kepada Allah merupakan tenaga pendorong menuju penjagaan diri dari hawa
nafsu.[27]
Selain itu, masih terdapat
beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang perihal ittiba’ al-hawa. Diantaranya
adalah QS.:An-nisa’ayat135 , QS Shad ayat 26, QS. Al-An’am
150, QS. Al-An’am 56, QS. Al-Maidah 48, QS Al-Furqan 43, QS. Muhammad 14, QS. Al-Kahfi 28, QS.An-Nazi’at 41-40, QS. An-Najm 3, QS. Al-A’raf, QS. Taaha 16, QS. Al-Qassas 50, QS Al-Jatsiyah 23, QS. Al-Baqarah 120 dan 145, QS.
Al-Maidah 48 dan 49, QS. Ar-Ra’ad 37, QS. Al-Mukminun
71, QS. Ar-Ruum 29, QS. As-Shura 15, QS. Muhammad 16, QS. Al-Qamar 3.
C. Pembahasan Ittiba’ul Hawa
Dalam pembahasan Ittiba’ul
Hawa obyek yang menjadi sasaran keinginan nafsu adalah syahwat, yaitu “gerak keinginan nafsu untuk
memperoleh kenikmatan”.[28]
Perbedaan antara hawa dan syahwat adalah bahwa hawa tertuju secara khusus pada
hal-hal yang meyangkut pendapat-pendapat dan i’tikad, sedangkan syhwat
dikhusukan pada usaha memperoleh kelezatan. Oleh sebab itu, syahwat merupakan
hasil dari adanya hawa. Dan syahwat itu lebih khusus, sedangkan hawa nafsu
adalah dasar yang sifatnya lebih umum.[29]
Secara terperinci
Al-Qur’an menjelaskan tentang obyek-obyek yang menjadi keinginan hawa nafsu
yang disebut syahawat:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada yang diingini
yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dan jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia,
dan di sisi Allah-lah sebaik-baik tempat kembali.” (QS Ali Imran [3] : 14)
Firman Allah tersebut
menunjukkan perincian obyek yang menjadi keinginan nafsu manusia pada umunya
yaitu wanita (seks), anak (keturunan, kekuasaan), harta yang banyak dan
bertumpuk-tumpuk berupa emas, perak, kuda (kendaraan), binatang ternak, dan
tanaman (pertanian). Sebenarnya obyek-obyek syahwat itu bersifat netral dan
Allah telah menetapkan aturan-aturan permainan bagi manusia dalam usahanya
untuk memperoleh kenikmatan duniawi yang diinginkan dan didambakan oleh hawa
nafsunya. Allah s.w.t menciptakan manusia mempunyai nafsu syahwat, sebenarnya
memang mengandung faedah sebagaimana dikatakan Ibnu Qudamah Al-Maqdisi sebagai
berikut:
“…syahwat diciptakan
tidak lain mempunyai faedah yang penting dalam menciptakan manusia. Sebab andaikata
syahwat makan (misalnya) dicabut atau dihilangkan, pasti binasalah manusia,
pasti akan terputuslah keturunan manusia, dan andaikata sifat marah hilang
secara keseluruhan, manusia tidak dapat mempertahankan dirinya dari sesuatu
yang hendak membinasakannya.”[30]
Hawa nafsu yang ada dalam diri manusia dipengaruhi oleh beberapa
faktor yang melatar belakanginya. Setidaknya ada beberapa faktor yang menjadi penyebab seseorang
menuruti hawa nafsunya.
1.
Tidak Membiasakan Diri Menahan
Keinginan sejak Kecil
Hawa
nafsu manusia yang negatif akan selalu tertanam dalam diri seseorang yang tidak
berusaha menekannya sejak dini. Hal ini disebabkan karena masa kecil adalah
masa pembentukan karakter yang nantinya menjadi watak dalam diri manusia ketika
dewasa nanti. Seseorang yang terbiasa mengikuti hawa nafsunya dapat dipastikan
bahwa orang tersebut telah jauh menyimpang dari petunjuk Allah. Allah berfirman
2.
Bergaul Dengan Orang yang Diperbudak
Hawa Nafsu
Pergaulan memiliki andil yang cukup signifikan dalam membentuk
karakter seseorang. Kecenderungan Ittiba’ul Hawa akan tumbuh subur jika
berada dilingkungan orang yang diperbudak hawa nafsu. Maka dari itu, islam
telah mengajarkan kepada segenap pemeluknya agar senantiasa mencari teman yang
selalu mengajak untuk selalu mengingat Allah, meningkatkan ketaqwaan dan
menjauhi hal-hal yang munkar.
3.
Dangkal Pegetahuan Tentang Allah dan
Akhirat
Seorang muslim sejati tentunya akan mengetahui dan mengenal tuhan
yang menciptakannya. Pengetahuan seorang hamba terhadap tuhannya akan mendorong
hamba tersebut untuk mentaati perintahnya dan menjauhi larangannya. Sedangkan
Allah melalui ayat-ayatnya telah melarang seseorang untuk menuruti segala
kehendak hawa nafsunya. Maka, seorang muslim yang sejati tentunya akan berusaha
untuk tidak terjurumus kedalam jebakan hawa nafsunya sendiri.
4.
Tidak Mendapatkan Peringatan ketika
Berbuat Khilaf
Timbulnya peringatan ketika seseorang berbuat khilaf sangat
dipengaruhi oleh ketebalan imannya. Seorang yang bertaqwa ketika berbuat
kekhilafan maka ia akan segera bertaubat, memohon ampun kepada tuhannya,
menyesali perbuatannya dan berjanji untuk tidak mengulanginya. ا
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap
dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada
Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka
mengetahui.
Berbeda dengan orang yang tidak beriman atau imannya masih tipis,
maka ia akan terhalang untuk mengingat Allah swt.
5.
Cinta Dunia dan Meninggalkan Akhirat
Orientasi kehidupan seseorang yang hanya menginginkan kehidupan
duniawi akan mudah terpengaruh oleh bujukan hawa nafsunya, padahal kehidupan
akhirat pada hakikatnya akan selalu lebih baik dan kekal keberadaanya.
6.
Tidak Mengetahui Akibat Mengikuti
Hawa Nafsu
Seorang yang tidak mengetahui akibat dari apa yang dilakukannya
akan cenderung bersifat ceroboh. Demikian juga seseorang yang tidak mengetahui
apa akibat dari selalu memenuhi hawa nafsunya, ia tanpa merasa berdosa akan
mengikuti apa yang di kehendaki nafsu jahat yang dimonitori oleh syetan.
ولا
تتبعوا خطوات الشيطان انه لكم عدو مبين
Semakin seseorang mengikuti jejak syetan maka semakin jauh pula dia
dari jalan yang lurus, yaitu jalan yang Allah berikan kepada hamba-hambanya
yang beriman dan beramal saleh.
Di
sisi lain, hawa nafsu yang selalu dituruti akan memberikan dampak negatif
terhadap pelakunya. Dampak tersebutlah yang nantinya akan menurunkan kadar
ketaqwaan maupun ketebalan iman seseorang. Bukan hanya untuk diri sendiri,
tetapi dampak tersebut juga akan berpengaruh terhadap orang lain yang ada
disekitarnya. Diantara dampak negatif dari ittiba’ul hawa adalah sebagai
berikut:
a.
Menurunnya tingkat ketaatan kepada
Allah
b.
Hati menjadi keras, sakit,dan mati.
b.
Menganggap remeh dosa
c.
Tidak merasakan manfaat nasehat dan
petunjuk
d.
Berbuat bid’ah dalam agama
e.
Tidak mendapatkan hidayah untuk
meniti jalan yang lurus
f.
Menyesatkan orang lain dari jalan
yang lurus
g.
Mengantarkan diri ke neraka jahim
Keseluruhan
dampak yang ditimbulkan akibat menuruti hawa nafsu yang negatif tersebut
bukanlah tidak mempunyai sebuah solusi. Baik Allah maupun Rasul-Nya telah
memberikan langkah jitu kepada umatnya bagaimana menekan hawa nafsu yang
berpotensi dalam menimbulkan perbuatan yang berdosa. Allah swt. Melalui
ayat-ayat-Nya telah memberikan rambu-rambu kepada hambanya agar tidak terjebak
ke dalam perangkap hawa nafsu. Demikian juga rasulullah SAW, beliau memberikan
arahan kepada sahabta-sahabatnya bagaimana menyikapi hawa nafsu yang ada dalam
setiap diri manusia. Secara ringkas disini dipaparkan beberapa langkah-langkat
yang bisa membantu seseorang untuk mengendalikan hawa nafsu. Di antaranya
adalah sebagai berikut:
a.
Selalu mengingat dampak ittiba’
al-hawā
b.
Tidak bergaul dengan orang yang
diperbudak hawa nafsu
c.
Meningkatkan kualitas pengetahuan
tentang Allah
d.
Berusaha menerima nasihat dan
mengikuti nasihat dan teladan yang baik
e.
Mengambil i’tibar dari kisah
orang-orang yang menjadi budak hawa nafsu
f.
Mengkaji sejarah hidup orang-orang
yang selalu berjihad
g.
Berhati-hati terhadap dunia dan
kemewahannya
h.
Meminta pertolongan Allah agar
selalu mendapatkan hidayah
i.
Berusaha sekuat tenaga untuk
menguasa diri
j.
Selalu mengingat janji Allah kepada
orang-orang yang mengikuti syari’at-Nya.[31]
D. Kontekstualisasi Konsep Ittiba’ul Hawa
Di tengah hiruk pikuk perkembangan dunia, dengan seluruh kemewahan
yang ada di dalamnya, seorang muslim dituntut untuk selalu mendekatkan diri
kepada Allah swt agar tidak lalai dalam menjalankan apa yang menjadi
kewajibannya menjadi seorang hamba. Kehidupan dunia seringkali membuat manusia
terbuai dan cenderung melakukan hal-hal yang melampaui batas syariat allah.
Padahal tidaklah sempurna iman seseorang ketika ia selalu menuruti keinginan
hawa nafsu yang bersifat duniawi. Kesempurnaan iman dapat diraih ketika hawa
nafsu seorang muslim mengikuti apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw. (syariat
Allah). Sebagaimana terekam dalam sebuah hadis,
Gemerlapnya kehidupan dunia sangat rentan bagi manusia untuk
terjerumus ke dalam hal-hal yang sesat. Saat ini banyak kasus-kasus besar yang
terjadi sebagai akibat terbujuknya manusia oleh hawa nafsunya sendiri. Mereka
mudah dihasut oleh syetan-syetan yang menawarkan kenikmatan yang bersifat
sementara. Sehingga mereka melakukan hal-hal yang dilarang berdasarkan Syariat
Islam. Mereka pun akhirnya menjadi golongan orang-orang yang sesat. Allah
berfirman,
Dampaknya bukan hanya
terjadi pada pelakunya akan tetapi juga kepada orang-orang yang berada di
sekitarnya. Praktek korupsi, perzinaan, perjudian, pembunuhan dan segala
permasalahan-permasalahan aktual yang sedang melanda negeri ini merupakan bukti
konkret dari kelalaian manusia dalam mengendalikan hawa nafsunya. Maraknya
korupsi menjadikan rakyat sengsara, perzinaan semakin banyak menimbulkan
masalah sosial, begitupun juga dengan perjudian dan pembunuhan. Orang-orang
yang melakukan hal tersebut bukan disebabkan karena tidak memiliki pemahaman
yang jelas dan benar teradap kebenaran. Akan tetapi mereka lebih mengikuti hawa
nafsu mereka.
Dalam hal ini manusia sangat membutuhkan pedoman dalam
mengendalikan hawa nafsunya. Pengendalian hawa nafsu akan menuntun manusia
untuk selalu berada dalam naungan Allah serta akan selalu dikaruniai rahmat dan
petunjuknya. Allah pun terhadap orang yang demikian akan memberikan tempat yang
mulia kelak di hari akhir nanti.
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ
الْهَوَى
Dan adapun orang-orang yang takut kepada
kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya
E. Kesimpulan
Di tengah perkembangan zaman,
manusia, sebagai seorang makhluk yang penuh salah dan lupa seiring berjalannya
waktu terus mengalami degradasi moral. Minimnya kecerdasan spiritual menjadikan
mereka mudah terjebak oleh godaan hawa nafsunya sendiri. Di samping itu,
problematika hidup yang selalu muncul di hadapan manusia, jika tidak ditanggapi
sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, maka akan membuatnya stress dan frustasi
yang berbahaya bagi diri sendiri.
Dalam hal ini, nilai-nilai zuhud
perlu untuk di tanamkan pada diri setiap pribadi manusia zaman ini. Kezuhudan
ini nantinya akan membuat manusia lebih legowo dalam menghadapi segala
persoalan hidup dan tidak mudah terjerumus oleh godaan hawa nafsu berupa
kenikmatan dunia yang hanya sementara. Baik Allah maupun Rasul-Nya telah
memberikan langkah jitu kepada umatnya bagaimana menekan hawa nafsu yang
berpotensi dalam menimbulkan perbuatan yang berdosa. Allah swt. Melalui
ayat-ayat-Nya telah memberikan rambu-rambu kepada hambanya agar tidak terjebak
ke dalam perangkap hawa nafsu. Demikian juga rasulullah SAW, beliau memberikan
arahan kepada sahabta-sahabatnya bagaimana menyikapi hawa nafsu yang ada dalam
setiap diri manusia.
Oleh karena itu, sebagai seorang
muslim yang hidup di zaman modern ini seharusnya lebih meningkatkan ketaqwaan
dan keimanan mereka melalui penanaman nilai-nilai zuhud dalam diri
masing-masing. Hal ini berguna agar manusia tidak mudah dijerumuskan oleh
syaitan yang menjadi musuh nyata manusia.
Wallahu A’lam
bi al-Showaab...
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Abid, Bisri, 1990 Kamus
al-Bisri. Surabaya: Pustaka Progresif.
Al-Alusi. 2008. Ruh al-Ma’ani fi tafsir al-Quran
al-Azhim jilid 22, Maktabah
al-Syamilah, Pustaka Ridwana.
Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. 2013. Mawaridul Aman Al-Muntaqa min
Ighatsatul Lahfan fi Mashayidis Syaithan, terj. Ainul Haris Umar Arifin
Thayyib. Bekasi: Darul Falah.
An-Najar, Amir. 2014. Ilmu Jiwa
Dalam Tasawuf: Studi Komparatif Dengan Ilmmu Jiwa Kontemporer, Jakarta:
Pustaka Azzam.
Ansary, Tamam. 2015. Destiny
Discrupted: A History of the World Though Islamic Eyes. Jakarta: Zaman.
Katsir, Ibnu. 2008. Tafsir
al-Quran al-Azim Juz 8 hal. 318, Maktabah al-Syamilah, Pustaka Ridwana
2008.
Khoiri, Alwan dkk. 2005. Ahlak/Tasawuf. Yogyakarta: Pokja
Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Munawir, M. Fazur. 2005. Konsep Sabar Dalam Al-Qur’an:
Pendekatan Tafsir Tematik. Yogyakarta: TH Press.
Nasiruddin. 2013. Jalan Yang Di Tempuh Para Pencinta Allah: Kisah Kezuhudan Manusia Pilihan Sepanjang
Zaman. Yogyakarta: Darul Hikmah.
Nasution, Harun. 1978. Filsafat Dan Mistisme Dalam Islam.
Jakarta: Bulan Bintang.
Syukur, H.M. Amin. 1997. Zuhud Di Abad Modern. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Shahab, Husein. 1994. Dioalog-Dialog Sufi. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Syata, As-Syaid Abu Bakar Ibn Muhammad. 1997. Menapak Jejak Kaum
Sufi. Surabaya: Dunia Ilmu.
Zamakhsyari.
2008. al-Kasyaf jilid 7, Maktabah al-Syamilah, Pustaka
Ridwana.
Www.islamicweb.net diakses tanggal 05 April 2015
Www.islampos.com diakses tanggal 06 April 2015
[1] M. Fajrul
Munir, Konsep Sabar Dalam Al-Qur’an: Pendekatan Tafsir Tematik,
(Yogyakarta: TH Press, 2005), hlm. 53.
[2]Pertanyaan mengenai hal ihwal ini
terjawab dalam (QS. ali Imran: 14 dan al-Hadid: 20 ), kedua ayat ini
mengisyaratkan bahwa hal ihwal keduniaan yang dimaksud itu berupa kesenangan
material yang bersifat sementara dan tidak pernah memberikan kepuasan kepada
manusia.
[3] Abu Hasan
al- Syadzili (w. 656 H/ 1258 M), beliau merupakan tokoh yang mendirikan Tarekat
Syadziliyah.
[4] Nasiruddin,
Jalan Yang di Tempuh Para Pencinta Allah SWT: Kisah Kezuhudan Manusia
Pilihan Sepanjang Zaman, (ogyakarta, Darul Hikmah, 2013), hlm. 15.
[5] Kata zuhd dalam ayat tersebut dikenal terhadap
para musafir yang menemukan Yusuf di perjalanan. Karena mereka merasa tidak
tertarik hatinya (al-Zahiddin) terhadap anak temuannya itu. Jadi
mereka kuatir kalau
pemiliknya datang mengambilnya. oleh karena itu mereka tergesa-gesa menjualnya
Sekalipun dangan harga yang murah.
[6] M. Fajrul Munawir, Konsep Sabar Dalam Al-Qur’an: Pendekatan Tafsir
Tematik, hlm. 55-57.
[7] Asy-Sayid Abu Bakar Ibn Muhammad Syata, Menapak Jejak Kaum Sufi,
(Surabaya: Dunia Ilmu, 1997) hlm. 56-57.
[8] H.M Amin Syukur, Zuhud Di Abad Modern, hlm. 28
[9]Diantara orang-orang yang merebut kekuasaan kekhalifahan dan ingin
hidup mewah adalah dari kalangan Usman bin Affan yaitu saudaranya Muawiyah yang
menyusun tentara yang setia kepada dirinya sendiri dan ketika Muawiyah
diturunkan dari jabatannya, ia menolak dan menyatakan bahwa dirinyalah yang
berhak atau kekhalifahan adalah miliknya. Tamim Ansary, Destiny Discrupted:
A Historiry of the World Though Islamic Eyes. (Jakarta: Zaman, 2015), hlm.
113 & 122.
[10]Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1978), hlm. 64-65.
[11] Amir An-Najar, IlmuJiwa Dalam Tasawuf, Studi Komparatif Dengan
Ilmu Jiwa Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2014), cet ketiga, hlm. 238
[12] H.M Amin Syukur, Zuhud Di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997), hlm 81-82.
[13] Imam As-Shaadiq mejawab, “orang zuhud adalah orang yang memilih
akhirat ketimbang dunia; orang yang bersifat hina dihadapan Allah dan tidak
congkak; orang yangmengutamakan kesungguhan ketimbang bermals-malsan; orang
yang lebih sering lapar ketimbang kenyang;orang yang lebih berharap pada
ganjaran akhirat ketimbang kepuasan sementara; mengutamakan ingat pada Allah
dari pada lalai; dan orang yang dirinya berda di dunia dan hatinya berada di
akhirat. Husen Shihab, Dialog-Dialog Sufi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
1994), hlm. 100.
[14] Alwan Khaori dkk, Ahlak/ Tasawuf, (Yogyakrta: Pokja Akademik
UIN Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 112.
[15] Nasiruddin, Jalan Yang di Tempuh Para
Pencinta Allah SWT: Kisah Kezuhudan Manusia Pilihan Sepanjang Zaman, hlm.
260.
[16]Hosein Nasr menyatakan bahwa akibat
masyarakat modern yang mendewa-dewakan ilmu pengetahuan dan teknologi berada
dalam wilayah pinggiran eksistensinya sendiri, bergerak menjauh dari pusat.
Sementara pemahaman agama mereka yang berdasarkan wahyu mereka tinggalkan hidup
dalam keadaan sekuler.
[17] Sebagimana yang di kehendaki Allah dalam QS.
Al-Qashash: 77. Dalam menyitir sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa“Ali
pernah menyatakan firman Tuhan: jangan lupakan nasibmu di dunia. ‘Demikian pula
dia mengatakan: Jangan lupakan keselamatan, kekuatan kesempatan, kepemudaan dan
keekatanmu untuk sarana mencari akhirat.”
[18] H.M Amin
Syukur, Zuhud Di Abad Modern, hlm. 179-180
[19] K.H. Abid
Bisri dan K.H. Munawwar A. Fattah, Kamus al-Bisri, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1990), hlm. 763.
[20] Sayyid
Muhammad Nuh, Menaklukan 7 penyakit hati, (Bandung: al-Bayan, 2004), hlm.
71-72.
[21] Abdullah Insan, Jika
Menuruti Hawa Nafsu, dalam https://www.islampos.com, diakses pada tanggal 06 April 2015
[22] al-Alusi, Ruh
al-Ma’ani fi tafsir al-Quran al-Azhim jilid 22 hal. 159-160, Maktabah
al-Syamilah, Pustaka Ridwana 2008 dan Zamakhsyari, al-Kasyaf jilid 7
hal. 231, Maktabah al-Syamilah, Pustaka Ridwana 2008.
[23] Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Azim Juz 8 hal. 318, Maktabah
al-Syamilah, Pustaka Ridwana 2008.
[28], Mafsadat al-Qalb wa Ittiba’ul hawa dalam
http:// www.islamweb.net, diakses
tanggal 05 April 2015
[29] Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah,
Mawaridul Aman Al-Muntaqa min Ighatsatul Lahfan fi Mashayidis Syaithan, terj.
Ainul Haris Umar Arifin Thayyib (Bekasi: Darul Falah, 2013), hlm. 123
[31] Sayyid
Muhammad Nuh, Menaklukan 7 penyakit , hlm. 75-92.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar