Senin, 13 April 2015

ZUHUD DAN ITTIBA' AL-HAWA



ZUHUD DAN ITTIBA’ AL- HAWA

Abstract
This article explain about how urgent the concept of zuhud and ittiba’ al-hawa’ are, due to the development of science and technologhy in this moder era. The writer will explore some cases that has been happening recently in linked with concept of tasawuf i.e. zuhud and ittiba’ al-hawa. The methods used are descriptive-analitic.
Kaywords: Kontekstualisasi, Ittiba’ al hawa, Zuhud
A.    Pendahuluan
Di zaman globalisasi ini, zaman yang dipenuhi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, segala jenis kenikmatan, kemewahan dan keglamoran menyapa manusia dengan lembutnya. Manusia yang hidup di zaman ini tentunya  akan mengikuti arus perkembangan kehidupan yang mencakup segala pernak-pernik yang menghiasinya. Dalam hal ini, manusia membutuhkan sebuah lentera yang dapat menerangi perjalanan hidupnya, menampakkan jalan kebenaran yang harus dilaluinya serta membimbingnya untuk kembali keharibaan rabb-nya dengan penuh kedamaian.
Sebagai makhluk yang berakal, manusia tidak cukup hanya mengandalkan akal, meskipun eksitensi akal tersebut memberinya kemampuan untuk membedakan antara hal yang baik dan hal yang buruk, serta hal yang dapat memberikan manfaat terhadap dirinya dan hal yang membawa madlarat terhadap dirinya. Manusia akan lebih membutuhkan nilai-nilai spritual yang tidak dapat digapai oleh akal manusia seberapapun tinggi tingkat kecerdasan yang dimilikinya. Nilai-nilai spiritual tersebut menjadi lebih urgen keberadaannya ketika sedang mengalami berbagai persoalan hidup yang menghampirinya. Kecerdasan spiritual akan membawanya menuju kedalam sebuah ruangan tanpa batas yang didalamnya manusia dapat melakukan dialog dengan tuhannya. Melalui dialog ini manusia sering kali menemukan solusi atas persoalan hidupnya atau paling tidak ia menemukan sebuah penghibur atas persoalan hidup yang sedang dihapinya.
Di antara sekian banyak sendi-sendi spiritual, zuhud adalah salah satu pokonya. Bersikap zuhud akan mengarahkan manusia agar tetap berada dalam sabil al-rusyd yang menjadi jalan yang diridloi oleh tuhannya. Selain itu, dengan adanya kezuhudan dalam diri manusia, ia tidak akan melampaui batas-batas kemanusian sehingga ia dapat terhindar dari kejahatan yang disebabkan karena selalu menuruti hawa nafsunya (ittiba’ul hawa).
Tulisan ini secara ringkas dan padat akan memeberikan sebuah deskripsi  yang didalamnya memuat tentang analisis sebuah hubungan antara peranan zuhud sebagai spritualitas manusia dengan kehidupan di era modern ini. Selain itu, karya ini juga akan mengupas bagaimana konsep ittiba’ul hawa kaitannya dengan sikap manusia dalam meminimalisasi sifat tersebut.
B.     Definisi Zuhud
Mayoritas sufi berbeda dalam mendefinisikan tentang pengertian zuhud. Perbedaan pengalaman mereka dalam tasawuflah yang menimbulkan perbedaan definisi tersebut. Zuhud atau Zuhd dalam bahsa arab adalah bentuk isim masdar dari kata  زهد او زهد-يزهدdan زهد-يزهد-زهدا وزهادة فى الشى وعنه.[1] Zuhud secara literatur berarti meninggalkan, tidak tertarik, dan tidak menyukai. Menurut Abu Bakar Muhammad al-Waraq (w. 290 H/ 903 M) mengandung tiga hal yang harus ditinggalkan. Huruf ‘z’berarti zinah (perhiasan dan kehormatan), huruf ‘h’ berarti hawa (keingin), dan huruf ‘d’ menunjukkan pada dunya (dunia materi. Dalam prespektif tasawuf, zuhud diartikan dengan tidak tertariknya hati terhadap hal ihwal keduniaan dan menjauhkan diri darinya, karena taat kepada Allah SWT, padahal terdapat kesempatan untuk memperolehnya[2].
Menurut Abu Hasan al- Syadzili[3] keperluan manusia pada hal ihwal keduniaan tidak dapat dikesampingkan. Menurutnya, yang dikatakan orang zuhud ialah orang yang menggunakan hal ihwal kedunian sekedar untuk memenuhi hajat hidupnya. Hajat hidup yang dimaksud ialah kebutuhan individual, keluarga, masyarakat, bahkan dalam hal bernegara. Orang yang zuhud ialah orang yang mampu menggunakan segala hal ihwal duniawi sesuai dengan ketentuan hukum dan etika, bukan untuk berlebih-lebihan dan berfoya-foya. Penggunaan materi demikian tidak dinilai bersifat keduniaan karena segala sesuatu untuk kepentingan pendekatan diri kepada Allah SWT.[4]
C.     Dalil-Dalil Tentang Zuhud
Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang zuhud adalah
QS. Yusuf: 20
dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, Yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf[5]
QS.An-Nisa: 77
 
“tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat!" setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. mereka berkata: "Ya Tuhan Kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada Kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun
Ayat tersebut memberikan penegasan kepada orang-orang munafiq yang tidak jadi berperang karena takut mati dan menginginkan hidup dan kenikmatan dunia, bahwa kenikmatan yang ada di dunia ini sifatnya fana dibandingkan dengan kenikmatan yang ada diakhirat. Kenikmatan akhirat lebih baik dari pada kenikmatan dunia, sebab kenikmatan dunia terbatas dan hilang, sedang akhirat banyak dan kekal yang tidak diterima kecuali buat hamba-Nya yang taqwa[6].
Banyak hadis yang menjelaskan tentang zuhud, diantaranya adalah HR. Al-Baihaqi dalam Syu’bil Iman, Nabi SAW telah bersabda:
ما زهد عبد فى الدنيا الا انبت الله الحكحة فى القلبه وانطلق بها لسانه وبصره عيب الدنيا ودواءها واخرجه منها سالما الى دار السلام
“Tiada seorang hamba yang zuhud di dunia, kecuali Allah SWT menumbuhkan  hikamah dalam hatinya mulut dan mata hatinya dapat mengatakan dan memandang celanya dunia serta obatnya, dan Allah SWT akan mengeluarkannya dari dunia dengan selamat menuju Darus-Salam”.
Dalam HR. Imam Ahmad, Nabi SAW, bersabda:
الزهد فى الدنيا راحة القلب والبدن والزغبة فى الدنيا تطيل الهم والخزن وما قصر عبد فى طاعة الله الا ابتلاه الله بالهم
“Zuhud terhadap dunia akan mengenakan hati dan badan, cinta dunia akan memperpanjang siksa dan duka, dan tiada seorang hamba yang sedikit atat kepada Allah SWT, kecuali Allah SWT akan mengujinya dengan kedukaan”[7]
Dalam HR. Ibn Majah
يا رسول الله دلنى على عمل اذا انا عملته احبنى الله واحبنى الناس فقال رسول الله صلم ازهد فى الدنيا يحبك الله و ازهد فيما فى ايدى النااس يحبك
“Hai utusan Allah, tunjukanlah aku suatu perbuatan, yang apabila saya kerjakn akan dicintai Allha dan dicintai manusia. Maka Nabi menjawabnya: ‘Berzuhudlah didunia engkau akan dicintai Allah, dan berzuhudlah apa yang ada ditangan manusia, mereka akan mencintaimu”[8]
D. Pembahasan Zuhud
1.      Faktor Zuhud
Dalam sejarah islam, sebelum timbulnya aliran tasawuf. Terlebih dahulu muncul aliran zuhd. Aliran zuhd atau ascetiscism muncul pada akhir abad I dan permulaan abad II H. Aliran ini timbul sebagai reaksi terhadap hidup mewah dari Khalifah dan keluarga serta pembesar-pembesar negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke Syiria, Mesir, Mesopotamia, dan Persia.
Orang melihat perbedan besar antara hidup sederhana dari Rasul SAW dan para Sahabat dan Khalifah-Khalifah yang empat, terutama Abu Bakar dan Umar. Mu’wiyah telah hidup sebagai raja-raja Roma dan Persia dalam kemewahannya. Anaknya Yazid tak memperdulikan ajaran-ajaran agama. Dalam sejarah Yazid dikenal sebagai seorang pemabuk. Di antara Khalifah-Khalifah Bani Umayyah, hanya Khalifah Umar Bin Abdul Azizlah (717-720 M), yang dikenal sebagai Khalifah yang mempunyai sifat taqwa dan patuh kepada jaran-ajaran Islam dan sederhana hidupnya. Selainnya hidup dalam kemewahan. Khalifah-khalifah Bani Abbas juga demikian.
Melihat hal-hal ini orang-orang yang tidak mau turut dalam hidup kemewahan dan ingin mempertahankan hidup kesederhanaan dijaman Rasul dan Sahabat-sahabatnya, menjauhkan diri dari dunia kemewahan itu. Sebelum timbul hidup  mewah itu,pada zaman perlombaan dan persaingan untuk merebut kekuasaan[9] dalam Khalifah, terutama di masa Usman dan Ali, ada Sahabat-sahabat yang mengasingkan diri, yaitu yang bersikap i’tizal (mengasingkan diri).
Aliran zuhd ini mulai nyata kelihatan di Kuffah dan Basrah di Irak. Paa zahid Kuffahlah yang pertama kali memakai wol-kasar sebagai reaksi terhadap pakaian sutra yang dipakai golongan Bani Umayyah Umpanya Sufyan Al-Tsauri (w.135 H), Abu Hasyim (w. 150 H) dan Jabir Ibn Hasyim (w. 190 H).
Di Basrah sebagai kepala tenggelam dalam kemewahan, aliran zuhd mengambil corak yang lebih ekstrim dari Kufah sehingga meningkat menjadi ajaran mistik. zahid yang terkenal disini ialah Hassan Al-Basrih (w. 110 H) dan Rabiah Al-Adawiyah (w. 185 H).
Dari kedua kota ini aliran zuhd pindah ke daerah-daerah lain. Di Persia (Khurasan), muncullah Ibrahim Ibn Adha (w. 162 H) dan muridnya Syafiq Al-Bakhi (w. 194 H). Di madinah muncul Ja’far al-Shidiq (w. 148 H).[10]
2.    Tingkatan Zuhud
Menurut al-Haraz orang-orang yang zuhud itu beraneka ragam, diantaranya orang-orang yang mengsongkan hatinya daripada keduniaan (kesibukan) ,dan menghadapkannya hanya untuk taat kepada Allah SWT, mengingatNya dan hatinya hnya untuk mengabdi kepadaNya. Saat itu Allah akan memberikan kecukupan kepadanya. Rasulullah SAW bersabda “ Barang siapa yang menjadikan pikiranya hanya satu (mengingat Allah), Allah akan mencukupi pikiran-pikiran yang lainnya.[11]
Zuhud merupakan sikap seseorang dalam memandang dunia, sehingga Al-Ghazali dalam Amin Syukur (2004) membagi zuhud menjadi tiga tingkatan. Tingkat pertama adalah zuhud terhadap dunia akan tetapihatinya masih condong kepada dunia, kemudian sifat condong kepada dunia tersebut diperanginya. Tingkat ini disebut al-Mutazahid (orang yang berusaha zuhud) atau disebut dengan pendahulu zuhud. Tingkat kedua meninggalkan dunia dengan hati yang ikhlas, karena menganggap dunia ini hina dan akhiratlah tujuan yang sebenarnya. Dan memfokuskan tujuan hidup di dunia untuk bekal di akhirat. Tingkat ketiga ialah zuhud didalam kėzuhudān. Orang ini tidak mengetahui dirinya zuhud, sebab dia mengetahui bahwa dunia seisinya tidak sebanding dengan Allah Swt. Zuhud ini muncul kerena telah ma’rifat kepada Allah Swt.
 Menurut Imam Ahmad ibn Hamabal dalam Amin Syukur (2004), zuhud dibagi dalam tiga tahap. Pertama, zuhud orang awam yaitu meninggalkan yang haram. Zuhudnya orang khawas (istimewa) yaitu meninggalkan sesuatu yang berlebihan meskipun halal. Dan terakhir adalah zuhudinya orang ‘arif (orang yang telah mengenal Tuhan) yaitu meninggalkan segala sesuatu yang dapat membuat hatinya lupa akan
Swt.[12]
3.    Tanda-Tanda Kezuhudan
Adapun tanda-tanda orang yang memiliki sifat Zuhd[13] adalah:
a.     Senantiasa melakukan amal shaleh
b.    Jika bertambah ilmunya, maka bertambah pula sifat zuhudnya.
c.     Tidak tergiur dengan keduniaan, karena keduniaan merupakan tipu daya, godaan dan fitnah.
d.    Senantiasa berbuat untuk kepentingan akhirat, karena Allah SWT berjanji akan memberikan kecukupan untuk kepentingan dunia dan agamya.[14]
4.      Kisah Orang yang Zuhud
Mengenai pembahasan ini, banyak sekali kisah yang menceritakan ketaan seorang hamba yang dipaparkan melalui contoh-contoh sikap zuhud. Dalam buku yang berjudul “Jalan Yang Ditempuh Para Pencinta Allah SWT” kisah-kisah menarik mengenai hidup zuhud dituangkan di dalamnya. Salah satunya adalah Gubernur Persi yang Zuhud (Salman Al-Farisi)
Ketika Salman Al-Farisi menjabat sebagai gubernur madinah, dia menunggangi keledainya dan bermaksud melakukan perjalanan jauh seorang diri. Akan tetapi, begitu kabar keberangkatannya beredar kemana-mana sehingga terdengar oleh penduduk madinah, merekapun berbondong-bondong keluar dari rumahnya masing-masing untuk menyambut diluar kota. Setelah sampai ditengah perjalanan, Salman bertemu dengan orang-orang yang bermaksud menyambutnya. Mereka bertanya kepada Salman, namun mereka tidak menyadari kalau orang tua yang berada di hadapan mereka itu adalah Salman.
“Wahai orang tua, apakah engkau melihat amir kami?”
Salman berkata “Siapakah amir kalian?”
Mereka menjawab “Dia adalah Salman al-Farisi, seorang sahabat Nabi”
Salman berkata “Akulah Salman dan bukan seorang amir”
Maka, merekapun terperanjak ketika mendengar penjelasan Salman. Merekapun segera turun dari kudanya masing-masing dan berjalan kaki untuk menghormati dan memuliakan Salman.kemudian mereka mempersilahkan Salman untuk memilih salah satu kuda mana saja yang paling bagus untuk keperluan perjalanannya itu.
Akan tetapi Salman berkata “Aku menungangi keledai ini lebih utama bagiku dan lebih sesuai dengan keperluanku”
Ketika sampai dikota mereka ingin membawa Salman ke istana gubernur. Akan tetapi, Salman berkata “Aku bukanlah seorang amir sehingga harus tinggal di istana gubernur”. Kemudian Salman menyewa toko dipasar dan dari toko inilah Salman mengatur urusan dunia dan akhirat dengan adil dan bijaksana.[15]
E.     Kontekstualisasi Zuhud Pada Masa Kini
Dalam kaitannya dengan problema[16] masyarakat modern, maka secara praktis tasawuf mempunyai potensi besar karena mampu menawarkan pembebasan spiritual, ia mengajak manusia mengenal dirinya sendiri, dan akhirnya mengenal Tuhannya. Tasawuf mampu memberi jawaban-jawaban terhadap kebutuhan spiritual akibat pendewaan mereka terhadap selain Tuhan.
Dalam tasawuf zuhd  dikenal sebagai satu stasion (maqam) untuk menuju jenjang kehidupan tasawuf, namun di sisi lain ia merupakan moral Islam. Dalam posisi ini tidak berarti suatu tindakan pelarian dari kehidupan dunia nyata ini, akan tetapi ia adalah usaha mempersenjatai diri dengan nilai-nilai rohaniah yang baru yang akan menegakkan saat menghadapi problematika hidup yang serba materialistik, dan berusaha merealisasikan keseimbangan jiwanya sehingga timbul kemampuan menghadapinya dengan sikap jantan. Kehidupan ini hanyalah sekedar sarana, bukan tujuan. Seorang zahid mengambil dunia atau materi secukupnya, tidak terjerat cinta padanya, sebagaimana sifat orang kafir  yang digambarkan Tuhan.  (QS. Al-Fajr: 20)
Hal ini bukan berarti usaha pemiskinan, akan tetapi dunia dan materi itu dimiliki dengan sikap tertentu, yakni menyiasatinya agar dunia dan materi itu menjadi bernilai akhirat, semua dijadikan sarana beribadah kepada Allah SWT sebagaimana yang dikehendaki[17] Allah SWT.[18]
A.     Definisi Ittiba’ul Hawa
Ittiba’ul Hawa secara literal memiliki dua akar kata ittiba’ dan Hawa. Ittiba’  berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk masdar dari kata إِتَّبَعَ – يَتَّبِعُ – إِتِّبَاعًا  berarti mengikuti, menyusul. Adapun  kata hawā (( اَلْهَوَى  memiliki arti yang sama dengan Hubb ( (اَلْحُبُّ yang berarti cinta.[19] Sedangkan menurut Dr. Sayyid Muhammad Nuh, kata al-hawā dalam bahasa Arab memiliki beberapa makna, diantaranya: 1) kecenderungan jiwa kepada yang disukai; 2) keinginan (irādah) jiwa kepada yang dicintai; 3) rasa cinta yang sudah merasuk ke dalam hati; dan 4) rasa cinta yang sudah menguasai jiwa. Semua makna al-hawā di atas dapat berlaku untuk sesuatu yang baik maupun buruk.
 Para ahli bahasa mengatakan, kata “al-hawā, apabila disebutkan secara mutlak (tanpa pengkhususan), maknanya tertuju pada sesuatu yang buruk; kalau makna yang dikehendaki adalah kebaikan, kata itu harus digandengkan dengan kata sifat, seperti hawā hasan (hawa yang baik) atau hawā muwāfiq li al-Shawāb (hawa yang mengikuti kebenaran).[20] Terkadang kata nafsu digunakan untuk kecenderungan nafsu yang bersifat umum yakni bisa cenderung kepada yang baik maupun yang buruk. Akan tetapi umunya kata al-hawa dipergunakan dalam arti kecenderungan nafsu kepada sesuatu yang menyalahi kebenaran. Ibnu Abbas mengatakan: “Allah tidak menyebut kata ‘al-hawa’pada suatu tempat dalam Kitab-Nya, kecuali dengan mencelanya”.[21]
Jadi hawa ada yang terpuji dan ada yang tercela. Hawa yang terpuji adalah ciptaan Allah yang dianugerahkan kepada manusia supaya dia dapat membangkitakn kehendak mempertahankan diri dan menangkis bahaya yang akan menimpa, berikhtiar mencari makan dan minum serta tempat kediaman (dengan cara dan tujuan yang halal). Hawalah yang mendorongnya. Adapun hawa yang tercela adalah hawa nafsu yang terbit dari kehendak jahat, kehendak kepada loba dan berlebih dari keperluan.
B.     Dalil-Dalil Tentang Ittiba’ul Hawa
Dalam al-Qur’an frasa Ittiba’ al-Hawā selalu bermakna negatif. Hal ini sebagaimana digambarkan dalam surat Shad [38]: 26:
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّه إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.
وأما من خاف مقام ربه ونهى النفس عن الهوى. فإن الجنة هي المأوى (النازعات 41-42)
Dan, siapa yang takut terhadap kebesaran Tuhannya, dan menjaga diri dari hawa nafsu. Maka sesungguhnya surgalah balasannya.
Dari berbagai kitab tafsir yang dirujuk, ditemui kesamaan penafsiran mengenai ayat ini. Tidak ada perbedaan yang essensial pada setiap kitabnya. Dalam penafsirannya, Imam al-Alusi menyampaikan, rasa takut yang dimaksud adalah rasa takut terhadap Tuhan yang menguasai seluruh aspek hidupnya secara mutlak pada hari thammah al-kubra (kiamat), dimana pada hari itu, manusia teringat setiap amalannya. Dan menjaga diri dari hawa nafsu berarti menjaga dan mengatasi dorongan terhadap syahawat dengan usaha mengalahkan dorongan ini di atas rasa sabar, kecenderungan terhadap kebaikan, dan ketidaktergantungan terhadap bumbu dunia. Maksud dari hawa adalah kecenderungan yang telah berkembang menuju syahawat. Raghib menyampaikan bahwa menjaga diri dari hawa ini sangat penting dan orang yang menjalankannya mendapatkan pujian, karena hawa akan membawa kepada kelemahan di dunia, dan akhirnya di akhirat ia akan terbawa kepada jurang neraka. Bahkan, ada sebuah kata bijak, “Jika engkau ingin suatu kebenaran, maka carilah hawa-mu, dan tinggalkan ia!” Bagi orang yang memenuhi kedua karakter ini, surgalah sebagai ganjarannya, bukan yang lainnya. Sesuai dengan logika Raghib, hawa membawa kepada jurang neraka, maka siapa yang meninggalkan hawa-nya, maka ia terhindar dari jurang, dan ia selamat.[22] Sementara menurut Ibnu Katsir, orang yang mempunyai rasa takut menghadap Tuhannya, takut terhadap hukumnya, dan menjaga diri dari dorongan hawa, dan menggantinya dengan ketakwaan terhadap Allah, balasannya di akhirat tiada lain adalah surga.[23]
Kata hawa, biasanya dipakaikan bukan untuk hal yang terpuji. Menjaga diri dari yang satu ini memang sangat sulit. Hal ini tercermin dari makna yang disampiakan oleh Sahl, “Tidak selamat seseorang dari hawa nafsunya melainkan para nabi dan sebagian para shiddiqiyyin.” Namun begitu, tentunya orang yang menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak terpuji dengan menjalani proses yang tidak mudah ini, nantinya akan mendapatkan sebuah reward. Sesuai dengan kutipan dari Fadhil, “Sebaik pekerjaan adalah mengalahkan hawa nafsu.”[24] Dengan redaksi yang sedikit berbeda, menjaga diri dari hawa—sebagaimana disampaikan Syaukani—merupakan aktifitas penjagaan diri dari dari dorongan menuju maksiat.[25] Tak jauh berbeda, menjaga diri dari hawa nafsu—menurut Imam Mawardi—adalah dengan menghindari diri dari maksiat dan keharaman. Sementara mengenai takut kepada Allah, dimaknai oleh Imam Mawardi kepada dua poin; dalam konteks dunia, takut berbuat dosa, dan dalam konteks akhirat, takut ketika berhadapan dengan hari perhitungan.[26] Rasa takut kepada Allah yang digandengkan dengan pengekangan hawa nafsu pada redaksi ayat ini menurut Imam Ar-Razi karena takut kepada Allah merupakan tenaga pendorong menuju penjagaan diri dari hawa nafsu.[27]
Selain itu, masih terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang perihal ittiba’ al-hawa. Diantaranya adalah QS.:An-nisa’ayat135 , QS Shad ayat 26, QS. Al-An’am 150,  QS. Al-An’am 56, QS. Al-Maidah 48, QS Al-Furqan 43, QS. Muhammad 14, QS. Al-Kahfi 28, QS.An-Nazi’at 41-40, QS. An-Najm 3, QS. Al-A’raf, QS. Taaha 16, QS. Al-Qassas 50, QS Al-Jatsiyah 23, QS. Al-Baqarah 120 dan 145, QS. Al-Maidah 48 dan 49, QS. Ar-Ra’ad 37, QS. Al-Mukminun 71, QS.  Ar-Ruum 29, QS. As-Shura 15, QS. Muhammad 16, QS. Al-Qamar 3.
C.    Pembahasan Ittiba’ul Hawa
Dalam pembahasan Ittiba’ul Hawa obyek yang menjadi sasaran keinginan nafsu adalah  syahwat, yaitu “gerak keinginan nafsu untuk memperoleh kenikmatan”.[28] Perbedaan antara hawa dan syahwat adalah bahwa hawa tertuju secara khusus pada hal-hal yang meyangkut pendapat-pendapat dan i’tikad, sedangkan syhwat dikhusukan pada usaha memperoleh kelezatan. Oleh sebab itu, syahwat merupakan hasil dari adanya hawa. Dan syahwat itu lebih khusus, sedangkan hawa nafsu adalah dasar yang sifatnya lebih umum.[29]
Secara terperinci Al-Qur’an menjelaskan tentang obyek-obyek yang menjadi keinginan hawa nafsu yang disebut syahawat:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada yang diingini yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dan jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah sebaik-baik tempat kembali.” (QS Ali Imran [3] : 14)
Firman Allah tersebut menunjukkan perincian obyek yang menjadi keinginan nafsu manusia pada umunya yaitu wanita (seks), anak (keturunan, kekuasaan), harta yang banyak dan bertumpuk-tumpuk berupa emas, perak, kuda (kendaraan), binatang ternak, dan tanaman (pertanian). Sebenarnya obyek-obyek syahwat itu bersifat netral dan Allah telah menetapkan aturan-aturan permainan bagi manusia dalam usahanya untuk memperoleh kenikmatan duniawi yang diinginkan dan didambakan oleh hawa nafsunya. Allah s.w.t menciptakan manusia mempunyai nafsu syahwat, sebenarnya memang mengandung faedah sebagaimana dikatakan Ibnu Qudamah Al-Maqdisi sebagai berikut:
“…syahwat diciptakan tidak lain mempunyai faedah yang penting dalam menciptakan manusia. Sebab andaikata syahwat makan (misalnya) dicabut atau dihilangkan, pasti binasalah manusia, pasti akan terputuslah keturunan manusia, dan andaikata sifat marah hilang secara keseluruhan, manusia tidak dapat mempertahankan dirinya dari sesuatu yang hendak membinasakannya.”[30]
Hawa nafsu yang ada dalam diri manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor yang melatar belakanginya. Setidaknya ada beberapa faktor yang menjadi penyebab seseorang menuruti hawa nafsunya.
1.      Tidak Membiasakan Diri Menahan Keinginan sejak Kecil
Hawa nafsu manusia yang negatif akan selalu tertanam dalam diri seseorang yang tidak berusaha menekannya sejak dini. Hal ini disebabkan karena masa kecil adalah masa pembentukan karakter yang nantinya menjadi watak dalam diri manusia ketika dewasa nanti. Seseorang yang terbiasa mengikuti hawa nafsunya dapat dipastikan bahwa orang tersebut telah jauh menyimpang dari petunjuk Allah. Allah berfirman
2.      Bergaul Dengan Orang yang Diperbudak Hawa Nafsu
Pergaulan memiliki andil yang cukup signifikan dalam membentuk karakter seseorang. Kecenderungan Ittiba’ul Hawa akan tumbuh subur jika berada dilingkungan orang yang diperbudak hawa nafsu. Maka dari itu, islam telah mengajarkan kepada segenap pemeluknya agar senantiasa mencari teman yang selalu mengajak untuk selalu mengingat Allah, meningkatkan ketaqwaan dan menjauhi hal-hal yang munkar.
3.      Dangkal Pegetahuan Tentang Allah dan Akhirat
Seorang muslim sejati tentunya akan mengetahui dan mengenal tuhan yang menciptakannya. Pengetahuan seorang hamba terhadap tuhannya akan mendorong hamba tersebut untuk mentaati perintahnya dan menjauhi larangannya. Sedangkan Allah melalui ayat-ayatnya telah melarang seseorang untuk menuruti segala kehendak hawa nafsunya. Maka, seorang muslim yang sejati tentunya akan berusaha untuk tidak terjurumus kedalam jebakan hawa nafsunya sendiri.

4.      Tidak Mendapatkan Peringatan ketika Berbuat Khilaf
Timbulnya peringatan ketika seseorang berbuat khilaf sangat dipengaruhi oleh ketebalan imannya. Seorang yang bertaqwa ketika berbuat kekhilafan maka ia akan segera bertaubat, memohon ampun kepada tuhannya, menyesali perbuatannya dan berjanji untuk tidak mengulanginya. ا
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.
Berbeda dengan orang yang tidak beriman atau imannya masih tipis, maka ia akan terhalang untuk mengingat Allah swt.
5.      Cinta Dunia dan Meninggalkan Akhirat
Orientasi kehidupan seseorang yang hanya menginginkan kehidupan duniawi akan mudah terpengaruh oleh bujukan hawa nafsunya, padahal kehidupan akhirat pada hakikatnya akan selalu lebih baik dan kekal keberadaanya.
6.      Tidak Mengetahui Akibat Mengikuti Hawa Nafsu
Seorang yang tidak mengetahui akibat dari apa yang dilakukannya akan cenderung bersifat ceroboh. Demikian juga seseorang yang tidak mengetahui apa akibat dari selalu memenuhi hawa nafsunya, ia tanpa merasa berdosa akan mengikuti apa yang di kehendaki nafsu jahat yang dimonitori oleh syetan.
ولا تتبعوا خطوات الشيطان انه لكم عدو مبين
Semakin seseorang mengikuti jejak syetan maka semakin jauh pula dia dari jalan yang lurus, yaitu jalan yang Allah berikan kepada hamba-hambanya yang beriman dan beramal saleh.
Di sisi lain, hawa nafsu yang selalu dituruti akan memberikan dampak negatif terhadap pelakunya. Dampak tersebutlah yang nantinya akan menurunkan kadar ketaqwaan maupun ketebalan iman seseorang. Bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi dampak tersebut juga akan berpengaruh terhadap orang lain yang ada disekitarnya. Diantara dampak negatif dari ittiba’ul hawa adalah sebagai berikut:
a.    Menurunnya tingkat ketaatan kepada Allah
b.    Hati menjadi keras, sakit,dan mati.
b.    Menganggap remeh dosa
c.    Tidak merasakan manfaat nasehat dan petunjuk
d.    Berbuat bid’ah dalam agama
e.    Tidak mendapatkan hidayah untuk meniti jalan yang lurus
f.     Menyesatkan orang lain dari jalan yang lurus
g.    Mengantarkan diri ke neraka jahim
Keseluruhan dampak yang ditimbulkan akibat menuruti hawa nafsu yang negatif tersebut bukanlah tidak mempunyai sebuah solusi. Baik Allah maupun Rasul-Nya telah memberikan langkah jitu kepada umatnya bagaimana menekan hawa nafsu yang berpotensi dalam menimbulkan perbuatan yang berdosa. Allah swt. Melalui ayat-ayat-Nya telah memberikan rambu-rambu kepada hambanya agar tidak terjebak ke dalam perangkap hawa nafsu. Demikian juga rasulullah SAW, beliau memberikan arahan kepada sahabta-sahabatnya bagaimana menyikapi hawa nafsu yang ada dalam setiap diri manusia. Secara ringkas disini dipaparkan beberapa langkah-langkat yang bisa membantu seseorang untuk mengendalikan hawa nafsu. Di antaranya adalah sebagai berikut:
a.    Selalu mengingat dampak ittiba’ al-hawā
b.    Tidak bergaul dengan orang yang diperbudak hawa nafsu
c.    Meningkatkan kualitas pengetahuan tentang Allah
d.    Berusaha menerima nasihat dan mengikuti nasihat dan teladan yang baik
e.    Mengambil i’tibar dari kisah orang-orang yang menjadi budak hawa nafsu
f.     Mengkaji sejarah hidup orang-orang yang selalu berjihad
g.    Berhati-hati terhadap dunia dan kemewahannya
h.    Meminta pertolongan Allah agar selalu mendapatkan hidayah
i.      Berusaha sekuat tenaga untuk menguasa diri
j.      Selalu mengingat janji Allah kepada orang-orang yang mengikuti syari’at-Nya.[31]

D.     Kontekstualisasi Konsep Ittiba’ul Hawa
Di tengah hiruk pikuk perkembangan dunia, dengan seluruh kemewahan yang ada di dalamnya, seorang muslim dituntut untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah swt agar tidak lalai dalam menjalankan apa yang menjadi kewajibannya menjadi seorang hamba. Kehidupan dunia seringkali membuat manusia terbuai dan cenderung melakukan hal-hal yang melampaui batas syariat allah. Padahal tidaklah sempurna iman seseorang ketika ia selalu menuruti keinginan hawa nafsu yang bersifat duniawi. Kesempurnaan iman dapat diraih ketika hawa nafsu seorang muslim mengikuti apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw. (syariat Allah). Sebagaimana terekam dalam sebuah hadis,

Gemerlapnya kehidupan dunia sangat rentan bagi manusia untuk terjerumus ke dalam hal-hal yang sesat. Saat ini banyak kasus-kasus besar yang terjadi sebagai akibat terbujuknya manusia oleh hawa nafsunya sendiri. Mereka mudah dihasut oleh syetan-syetan yang menawarkan kenikmatan yang bersifat sementara. Sehingga mereka melakukan hal-hal yang dilarang berdasarkan Syariat Islam. Mereka pun akhirnya menjadi golongan orang-orang yang sesat. Allah berfirman,

 Dampaknya bukan hanya terjadi pada pelakunya akan tetapi juga kepada orang-orang yang berada di sekitarnya. Praktek korupsi, perzinaan, perjudian, pembunuhan dan segala permasalahan-permasalahan aktual yang sedang melanda negeri ini merupakan bukti konkret dari kelalaian manusia dalam mengendalikan hawa nafsunya. Maraknya korupsi menjadikan rakyat sengsara, perzinaan semakin banyak menimbulkan masalah sosial, begitupun juga dengan perjudian dan pembunuhan. Orang-orang yang melakukan hal tersebut bukan disebabkan karena tidak memiliki pemahaman yang jelas dan benar teradap kebenaran. Akan tetapi mereka lebih mengikuti hawa nafsu mereka.
Dalam hal ini manusia sangat membutuhkan pedoman dalam mengendalikan hawa nafsunya. Pengendalian hawa nafsu akan menuntun manusia untuk selalu berada dalam naungan Allah serta akan selalu dikaruniai rahmat dan petunjuknya. Allah pun terhadap orang yang demikian akan memberikan tempat yang mulia kelak di hari akhir nanti.
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya
E.     Kesimpulan
Di tengah perkembangan zaman, manusia, sebagai seorang makhluk yang penuh salah dan lupa seiring berjalannya waktu terus mengalami degradasi moral. Minimnya kecerdasan spiritual menjadikan mereka mudah terjebak oleh godaan hawa nafsunya sendiri. Di samping itu, problematika hidup yang selalu muncul di hadapan manusia, jika tidak ditanggapi sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, maka akan membuatnya stress dan frustasi yang berbahaya bagi diri sendiri.
Dalam hal ini, nilai-nilai zuhud perlu untuk di tanamkan pada diri setiap pribadi manusia zaman ini. Kezuhudan ini nantinya akan membuat manusia lebih legowo dalam menghadapi segala persoalan hidup dan tidak mudah terjerumus oleh godaan hawa nafsu berupa kenikmatan dunia yang hanya sementara. Baik Allah maupun Rasul-Nya telah memberikan langkah jitu kepada umatnya bagaimana menekan hawa nafsu yang berpotensi dalam menimbulkan perbuatan yang berdosa. Allah swt. Melalui ayat-ayat-Nya telah memberikan rambu-rambu kepada hambanya agar tidak terjebak ke dalam perangkap hawa nafsu. Demikian juga rasulullah SAW, beliau memberikan arahan kepada sahabta-sahabatnya bagaimana menyikapi hawa nafsu yang ada dalam setiap diri manusia.
Oleh karena itu, sebagai seorang muslim yang hidup di zaman modern ini seharusnya lebih meningkatkan ketaqwaan dan keimanan mereka melalui penanaman nilai-nilai zuhud dalam diri masing-masing. Hal ini berguna agar manusia tidak mudah dijerumuskan oleh syaitan yang menjadi musuh nyata manusia.
Wallahu A’lam bi al-Showaab...


DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abid, Bisri, 1990 Kamus al-Bisri. Surabaya: Pustaka Progresif.
Al-Alusi.  2008. Ruh al-Ma’ani fi tafsir al-Quran al-Azhim  jilid 22, Maktabah al-Syamilah, Pustaka Ridwana.
Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. 2013. Mawaridul Aman Al-Muntaqa min Ighatsatul Lahfan fi Mashayidis Syaithan, terj. Ainul Haris Umar Arifin Thayyib. Bekasi: Darul Falah.

An-Najar, Amir. 2014. Ilmu Jiwa Dalam Tasawuf: Studi Komparatif Dengan Ilmmu Jiwa Kontemporer, Jakarta: Pustaka Azzam.
Ansary, Tamam. 2015. Destiny Discrupted: A History of the World Though Islamic Eyes. Jakarta: Zaman.
Katsir, Ibnu. 2008. Tafsir al-Quran al-Azim Juz 8 hal. 318, Maktabah al-Syamilah, Pustaka Ridwana 2008.
Khoiri, Alwan dkk. 2005. Ahlak/Tasawuf. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Munawir, M. Fazur. 2005. Konsep Sabar Dalam Al-Qur’an: Pendekatan Tafsir Tematik. Yogyakarta: TH Press.
Nasiruddin. 2013. Jalan Yang Di Tempuh Para Pencinta Allah:  Kisah Kezuhudan Manusia Pilihan Sepanjang Zaman. Yogyakarta: Darul Hikmah.
Nasution, Harun. 1978. Filsafat Dan Mistisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Syukur, H.M. Amin. 1997. Zuhud Di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Shahab, Husein. 1994. Dioalog-Dialog Sufi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Syata, As-Syaid Abu Bakar Ibn Muhammad. 1997. Menapak Jejak Kaum Sufi. Surabaya: Dunia Ilmu.
Zamakhsyari.  2008. al-Kasyaf  jilid 7, Maktabah al-Syamilah, Pustaka Ridwana.
Www.islamicweb.net diakses tanggal 05 April 2015
Www.islampos.com diakses tanggal 06 April 2015


[1] M. Fajrul Munir, Konsep Sabar Dalam Al-Qur’an: Pendekatan Tafsir Tematik, (Yogyakarta: TH Press, 2005), hlm. 53.
[2]Pertanyaan mengenai hal ihwal ini terjawab dalam (QS. ali Imran: 14 dan al-Hadid: 20 ), kedua ayat ini mengisyaratkan bahwa hal ihwal keduniaan yang dimaksud itu berupa kesenangan material yang bersifat sementara dan tidak pernah memberikan kepuasan kepada manusia.
[3] Abu Hasan al- Syadzili (w. 656 H/ 1258 M), beliau merupakan tokoh yang mendirikan Tarekat Syadziliyah.
[4] Nasiruddin, Jalan Yang di Tempuh Para Pencinta Allah SWT: Kisah Kezuhudan Manusia Pilihan Sepanjang Zaman, (ogyakarta, Darul Hikmah, 2013), hlm. 15.
[5] Kata zuhd dalam ayat tersebut dikenal terhadap para musafir yang menemukan Yusuf di perjalanan. Karena mereka merasa tidak tertarik hatinya (al-Zahiddin) terhadap anak temuannya itu. Jadi mereka kuatir kalau pemiliknya datang mengambilnya. oleh karena itu mereka tergesa-gesa menjualnya Sekalipun dangan harga yang murah.
[6] M. Fajrul Munawir, Konsep Sabar Dalam Al-Qur’an: Pendekatan Tafsir Tematik, hlm. 55-57.
[7] Asy-Sayid Abu Bakar Ibn Muhammad Syata, Menapak Jejak Kaum Sufi, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997) hlm. 56-57.
[8] H.M Amin Syukur, Zuhud Di Abad Modern, hlm. 28
[9]Diantara orang-orang yang merebut kekuasaan kekhalifahan dan ingin hidup mewah adalah dari kalangan Usman bin Affan yaitu saudaranya Muawiyah yang menyusun tentara yang setia kepada dirinya sendiri dan ketika Muawiyah diturunkan dari jabatannya, ia menolak dan menyatakan bahwa dirinyalah yang berhak atau kekhalifahan adalah miliknya. Tamim Ansary, Destiny Discrupted: A Historiry of the World Though Islamic Eyes. (Jakarta: Zaman, 2015), hlm. 113 & 122.
[10]Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 64-65.
[11] Amir An-Najar, IlmuJiwa Dalam Tasawuf, Studi Komparatif Dengan Ilmu Jiwa Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2014), cet ketiga, hlm. 238
[12] H.M Amin Syukur, Zuhud Di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm 81-82.
[13] Imam As-Shaadiq mejawab, “orang zuhud adalah orang yang memilih akhirat ketimbang dunia; orang yang bersifat hina dihadapan Allah dan tidak congkak; orang yangmengutamakan kesungguhan ketimbang bermals-malsan; orang yang lebih sering lapar ketimbang kenyang;orang yang lebih berharap pada ganjaran akhirat ketimbang kepuasan sementara; mengutamakan ingat pada Allah dari pada lalai; dan orang yang dirinya berda di dunia dan hatinya berada di akhirat. Husen Shihab, Dialog-Dialog Sufi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 100.
[14] Alwan Khaori dkk, Ahlak/ Tasawuf, (Yogyakrta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 112.
[15] Nasiruddin, Jalan Yang di Tempuh Para Pencinta Allah SWT: Kisah Kezuhudan Manusia Pilihan Sepanjang Zaman, hlm. 260.
[16]Hosein Nasr menyatakan bahwa akibat masyarakat modern yang mendewa-dewakan ilmu pengetahuan dan teknologi berada dalam wilayah pinggiran eksistensinya sendiri, bergerak menjauh dari pusat. Sementara pemahaman agama mereka yang berdasarkan wahyu mereka tinggalkan hidup dalam keadaan sekuler.
[17] Sebagimana yang di kehendaki Allah dalam QS. Al-Qashash: 77. Dalam menyitir sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa“Ali pernah menyatakan firman Tuhan: jangan lupakan nasibmu di dunia. ‘Demikian pula dia mengatakan: Jangan lupakan keselamatan, kekuatan kesempatan, kepemudaan dan keekatanmu untuk sarana mencari akhirat.”
[18] H.M Amin Syukur, Zuhud Di Abad Modern, hlm. 179-180
[19] K.H. Abid Bisri dan K.H. Munawwar A. Fattah, Kamus al-Bisri, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1990), hlm. 763.
[20] Sayyid Muhammad Nuh, Menaklukan 7 penyakit hati, (Bandung: al-Bayan, 2004), hlm. 71-72. 
[21] Abdullah Insan, Jika Menuruti Hawa Nafsu, dalam https://www.islampos.com, diakses pada tanggal 06 April 2015
[22] al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi tafsir al-Quran al-Azhim jilid 22 hal. 159-160, Maktabah al-Syamilah, Pustaka Ridwana 2008 dan Zamakhsyari, al-Kasyaf jilid 7 hal. 231, Maktabah al-Syamilah, Pustaka Ridwana 2008.
[23] Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Azim Juz 8 hal. 318, Maktabah al-Syamilah, Pustaka Ridwana 2008.
[24] Ibnu Hayyan, Barul Muhith Juz 10 hal. 423, Maktabah al-Syamilah, Pustaka Ridwana 2008.
[25] Syaukani, Fath al-Qadir juz 7 hal. 415, Maktabah al-Syamilah, Pustaka Ridwana 2008.
[26] Mawardi, an-Naktu wa al-‘Uyun, Juz 4 hal. 382, Maktabah al-Syamilah, Pustaka Ridwana 2008.
[27] Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib Juz 16, hal. 348, Maktabah al-Syamilah, Pustaka Ridwana 2008.
[28], Mafsadat al-Qalb wa Ittiba’ul hawa dalam http:// www.islamweb.net, diakses tanggal 05 April 2015
[29] Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Mawaridul Aman Al-Muntaqa min Ighatsatul Lahfan fi Mashayidis Syaithan, terj. Ainul Haris Umar Arifin Thayyib (Bekasi: Darul Falah, 2013), hlm. 123
[31] Sayyid Muhammad Nuh, Menaklukan 7 penyakit , hlm. 75-92.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar